Pasien Hepatitis akut misterius yang saat ini sedang mewabah di sejumlah negara, termasuk Indonesia memang belum diketahui penyebab dan bagaimana pengobatan yang tepat agar pasien bisa diobati secepatnya.
Meski begitu ada kemungkinan pasien bisa diobati dengan melakukan transplantasi hati seperti yang kerap dilakukan pada pasien hepatitis jenis lainnya yang juga telah dilakukan di Indonesia.
Direktur Utama Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso Mohammad Syahril mengatakan prosedur transplantasi hati sudah cukup akrab dilakukan di Indonesia. Ia juga menyinggung prosedur transplantasi hati yang sudah dilakukan terhadap puluhan suspek hepatitis akut misterius di luar negeri seperti Inggris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak menutup kemungkinan kelak pasien hepatitis [akut] ini akan mendapatkan terapi transplantasi hati," kata Syahril dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Kementerian Kesehatan RI, Jumat (13/5).
Sebenarnya apa itu terapi transplantasi hati dan bagaimana prosedur ini dilakukan?
Mengutip Jurnal Untar, transplantasi organ hati biasanya dilakukan terhadap pasien dengan keluhan sirosis hati. Terapi ini menawarkan terapi yang lebih definitif untuk penyakit ini.
Akan tetapi, prosedur ini memiliki banyak tantangan, seperti kurangnya jumlah organ donor, biaya perawatan yang tinggi, serta kesulitan teknis dan perawatan intensif pasca operasi.
Kepala divisi gastroenterologi di Duke University di Durham, North Carolina Andrew Muir sebagaimana dilansir dari Everyday Health mengatakan kerusakan hati, terutama sirosis umumnya terjadi selama beberapa dekade. Memang banyak orang dengan hepatitis C dapat diobati melalui obat antivirus, tapi tidak sedikit juga yang perlu menjalani transplantasi hati.
"Kuncinya adalah memisahkan keberadaan virus dan seberapa sakit hati itu," kata Muir.
Bagaimana transplantasi hati dilakukan?
Orang yang menjadi kandidat untuk transplantasi hati akan dirujuk ke pusat transplantasi hati kemudian dilakukan sejumlah evaluasi lanjut. Di sana, dokter melakukan tes seperti tes stres, skrining kanker, dan skrining kesehatan mental untuk menentukan apakah kandidat dapat menangani stres transplantasi organ.
"Kami perlu mengetahui apakah pasien cukup stabil secara emosional dan mental untuk menjalani operasi besar seperti transplantasi hati," kata Muir.
Selanjutnya, dokter akan menggunakan skor "MELD" (model untuk penyakit hati stadium akhir) untuk menilai tingkat keparahan kerusakan hati seseorang. Skornya, berdasarkan tes laboratorium, berkisar dari 6 (kerusakan hati paling sedikit) hingga 40 (kerusakan hati paling parah).
"Jika seorang pasien memiliki skor MELD antara 12 dan 14, saya selalu berusaha untuk mengobatinya terlebih dahulu sebelum melakukan transplantasi hati," kata Muir.
Setelah seseorang "lulus" ujian ini, mereka ditempatkan pada daftar transplantasi hati dan biasanya menunggu sekitar 18 bulan. Dalam beberapa tahun terakhir, waktu tunggu itu mulai berkurang, sebagian besar berkat DAA yang sama yang dapat menyembuhkan hepatitis C.
(tst/agt)