Jakarta, CNN Indonesia --
Healing ada di mana-mana. Ia keluar dan terucap dari mulut, berputar-putar di kepala, hingga berserakan di media sosial. Katanya, siapa saja butuh healing agar bisa bahagia.
Istilah 'healing' seolah menggambarkan kebutuhan jutaan manusia di zaman kiwari di tengah kehidupan yang kian ruwet. Supaya stres-nya hilang, kata mereka.
"Aku mau healing, nih, ke Bali," ujar Asti (33), pada CNNIndonesia.com. Semangat betul ia bercerita soal rencananya pergi healing ke Bali pada medio September nanti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai kebutuhan telah dipersiapkan. Mulai dari tiket pesawat, hotel berkonsep staycation, hingga beberapa destinasi wisata yang menurutnya indah dan bikin hati adem.
"Mau main ke pantai, dong. Cocok, tuh, buat healing. Dengerin suara ombak, tenang," kata Asti.
Healing dari apa, sih? Jawabnya adalah healing dari stres berlebih yang membuatnya gampang ngamuk belakangan ini.
Asti percaya, dengan pergi berlibur, stres bakal lenyap sesaat. Ia bisa kembali menjadi seorang ibu yang bahagia tanpa perlu lagi banyak ngamuk.
Healing memang tengah menjadi tren dalam beberapa waktu terakhir. Anda tentu tak sulit menemukan istilah ini. 'Healing' barangkali telah Anda baca beratus-ratus kali, ditulis oleh influencer idola, teman, hingga saudara. Atau, bahkan mungkin Anda sendiri?
Biasanya, istilah 'healing' dikaitkan dengan aktivitas pergi ke suatu tempat yang disukai. Anggapannya, dengan pergi berlibur, stres dan tekanan mental yang menimpa belakangan bisa hilang sesaat.
Anggapan itu juga dimanfaatkan oleh sejumlah pelaku industri pariwisata. Tengok saja sejumlah akun media sosial hotel atau pengelola destinasi wisata tertentu. Mereka menawarkan konsep healing-nya masing-masing, mulai dari kenyamanan bermalam di kamar tengah hutan hingga riaknya suara air terjun yang konon menenangkan.
 Ilustrasi. Istilah healing mendadak naik daun akibat kebutuhan banyak orang akan ketenangan mental. (iStock/shih-wei) |
Pokoknya, semua keruwetan di kepala dan hati bisa hilang dengan healing berlibur.
Psikolog klinis Amanda Octacia Sjam tak menampik adanya fenomena 'healing' yang belakangan begitu dielu-elukan. Healing, menurutnya, seolah jadi perkara mudah.
"Padahal, kan, healing yang sebenarnya, tuh, prosesnya enggak semudah itu," ujar Amanda pada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Secara harfiah, healing didefinisikan sebagai proses yang dijalani seseorang untuk kembali sehat atau pulih dari rasa sakit, baik secara fisik maupun psikologis.
Dalam konteks psikologis, sebut Amanda, healing biasanya menjadi kebutuhan bagi seseorang yang mengalami emotional pain atau rasa sakit emosional.
"Kalau kita bicara healing secara psikologis, ini akan berhubungan dengan emotional pain," ujar psikolog yang sehari-harinya berpraktik di Statera Healing Studio, Bandung ini.
Amanda menyebutkan beberapa ciri emotional pain yang bisa jadi indikator. Berikut diantaranya:
- gangguan tidur;
- perubahan selera makan;
- sulit konsentrasi;
- menarik diri dari lingkungan sosial;
- mimpi buruk;
- sering menghela napas;
- sulit diam;
- sering menangis;
- menghindari lokasi yang memicu kenangan.
Beberapa gejala di atas, menurut Amanda, tak akan sekonyong-konyong 'sembuh' hanya dengan healing pergi berlibur.
"Sebenarnya sah-sah saja, lagi stres atau mengalami emotional pain, pergi berlibur biar pikiran fresh lagi. Tapi ingat, rasa senang yang didapat itu sifatnya sementara, tapi tidak menyembuhkan rasa sakit emosional yang sebenarnya," jelas Amanda.
Simak selengkapnya soal 'healing' di halaman berikutnya..
Chia berangkat ke Sumba, Nusa Tenggara Timur, dengan harapan stres yang dialaminya akibat tekanan kerja bisa hilang.
Chia menghabiskan waktu hampir satu pekan di Sumba pada Juni lalu. Tapi, pulang dari sana, alih-alih tenang, Chia malah kelelahan.
"Enggak ada, tuh, healing. Jalan-jalannya, sih, seru dan menyenangkan. Tapi, balik ke Jakarta, ketemu bos-bos lagi, aduh, kepala nyut-nyutan lagi," keluhnya pada CNNIndonesia.com.
Sudah hampir satu tahun ke belakang, Chia menghadapi tekanan mental di tempat kerjanya. Berbagai target diberikan, membuat Chia kerap merasa gelisah dan gampang marah.
Tapi, apa lacur, pergi berlibur ke Sumba ternyata tak bisa membuatnya lebih santai dan legowo menghadapi tekanan-tekanan di tempat kerjanya. Chia kembali gelisah, sulit tidur, hingga emosi yang naik turun.
"Senang liburannya, tapi kok pas pulang tetap rasanya enggak tenang ya," kata Chia.
Faktanya, efek yang diberikan berlibur untuk healing memang bersifat sementara. Liburan mungkin bisa membikin hati senang, tapi belum tentu bahagia.
Banyak orang salah kaprah menyamakan rasa senang dan bahagia. Padahal, keduanya berbeda, sebagaimana Amanda membedakan antara 'pleasure' (kesenangan) dan 'happiness' (kebahagiaan).
Saat seseorang mengalami emotional pain, lanjut Amanda, mereka cenderung mencari pleasure. Namun sayangnya, kesenangan itu hanya bersifat sementara.
"Kita liburan. Terus pas pulang, aduh, balik lagi kerja, malas. Jadi, pleasure-nya sudah redup," ujarnya.
Sementara yang paling baik untuk didapatkan adalah kebahagiaan. "Happiness itu apa sih? Pleasure, tapi ada maknanya," kata dia.
 Ilustrasi. Pergi berlibur hanya menyembuhkan hati yang sakit dalam sementara. (Istockphoto/valentinrussanov) |
Secara ilmiah, Amanda menjelaskan tentang tiga lapisan otak manusia. Diantaranya otak reptil yang paling dasar, otak emosi, dan otak logika.
Penelitian memperlihatkan, hanya bagian otak emosi yang aktif saat seseorang berada dalam kondisi pleasure. "Kalau itu [otak emosi] udah redup, ya sudah, masalahnya balik," ujarnya.
Intinya, pergi berlibur yang bisa membikin hati senang itu hanya memuaskan bagian otak emosi, tapi tidak keseluruhan.
Sementara dalam kondisi happiness, semua bagian otak ikut aktif. Inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh seseorang yang mengalami emotional pain.
"Healing yang benar, ya, kita bereskan semuanya. Kita bereskan otak emosi, tapi otak logika juga diaktifkan," jelas Amanda.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi rasa sakit emosional adalah mendatangi profesional, yang dalam hal ini adalah seorang psikolog atau psikiater.
Sayangnya, hingga saat ini, pergi berkonsultasi dan menjalani terapi dengan psikolog masih dianggap tabu. Banyak orang ogah pergi ke psikolog karena cap buruk dan stigma pada orang dengan masalah mental yang masih saja langgeng bertahan hingga saat ini.
"Sebenarnya awareness [tentang kesehatan mental] orang udah cukup baik untuk sekarang. Orang bukannya enggak aware, tapi takut kena judgement," kata Amanda.
Meski demikian, Amanda tetap menyarankan siapa pun yang mengalami rasa sakit emosional untuk segera berkonsultasi dengan profesional. Kondisi emotional pain yang dibiarkan bisa memicu masalah-masalah mental lainnya yang lebih parah.
Tak ada indikator khusus yang menandakan seseorang perlu mendatangi profesional. Salah satu pasalnya, tingkat ketahanan mental setiap orang yang saling berbeda satu sama lain.
Pada akhirnya, semua kembali pada masing-masing individu. Setiap individu seyogianya memiliki kesadaran saat ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya.
Lagi pula, di tengah kehidupan yang kian ruwet ini, apa anehnya jika seseorang mengalami tekanan mental?