Hingga ujung masa kelam kolonialisme Belanda di Nusantara, Banda Neira tak lebih dari penjara alam yang diperuntukkan bagi aktivis-aktivis pejuang kemerdekaan RI.
Di balik keindahan alamnya, Banda Neira juga menyimpan cerita tentang pengasingan dua tokoh nasional kemerdekaan RI: Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Rumah Pengasingan Bung Hatta dan juga Rumah Pengasingan Bung Sjahrir di daerah Nusantara, Neira menjadi saksi bisu kedua tokoh terasing di Pulau Banda selama enam tahun.
Dalam berbagai catatan, Bung Hatta dan Sutan Sjahrir tiba di Banda pada 11 Februari 1936. Keduanya dipindahkan dari Boven Digoel ke Banda Neira demi kesehatan. Di Boven Digoel, malaria menjadi pembunuh terganas. Kedua tokoh tersebut juga sempat menderita malaria di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Neira, mereka sempat tinggal untuk sementara waktu di rumah Mr Iwa Koesoemasoemantri yang lebih dulu diasingkan bersama Dr Tjiptomangunkusumo. Satu minggu kemudian, Bung Hatta dan Sjahrir pindah ke rumah yang mereka sewa melalui seorang tuan tanah seharga f.12,50 ($ 5,00) per bulan. Bung Hatta mulanya menyewa rumah milik perkenier De Vries.
Lihat Juga : |
"Kedatangan Bung Hatta dan Sjahjrir tentu menjadi semangat bagi Iwa dan Tjipto, kedatangan mereka (Hatta-Sjahjrir) juga disambut hangat rakyat Banda," ujar tokoh sepuh Banda, Mochtar Thalib beberapa waktu lalu.
Tak lama berselang, Bung Sjahrir tinggal terpisah dari Bung Hatta setelah menyewa paviliun pada keluarga Baadillah yang menghadap ke Selat Sonnegat. Lokasinya kini berada di Jalan Nusantara, hanya beberapa belas meter dari pelabuhan baru Banda Neira.
![]() |
Menengok bekas rumah pengasingan Bung Hatta maka akan terekam bagaimana Bung Hatta menjadi pribadi yang bersahaja dan guru bagi anak-anak Banda.
Menengok ruang utama rumah pengasingan, pengunjung akan mendapati penataan rapi ruang tamu tempat Bung Hatta menerima siapapun warga yang datang. Di ruangan di sisi kanan, terdapat sebuah meja kerja dengan mesin tik tua yang kerap dipakai Bung Hatta menuangkan gagasannya.
Pemerintah Belanda masih membolehkan Hatta menulis untuk memperoleh uang. Hatta meneken kontrak dengan koran Pemandangan di Batavia. Honor itu bisa ia pakai untuk membeli keperluan seperti sabun, minyak tanah, atau kertas.
Di pengasingan ini, Hatta juga memiliki banyak waktu untuk membaca beratus-ratus buku yang dibawa. Total ada 16 peti yang ia bawa dari Digoel ke Banda. Hasil bacaannya ia kemas menjadi pengetahuan baru yang ia tulis menjadi sebuah artikel hingga buku.
Lihat Juga : |
Layaknya rumah para juragan kaya di Banda, kediaman ini berbentuk dua bangunan utama. Bangunan kedua berada di bagian belakang, dipisahkan oleh taman hijau. Pada bangunan kedua inilah, sekolah yang didirikan Bung Hatta dan Bung Sjahrir untuk anak-anak Banda.
Papan tulis hitam dan enam bangku dibuat berjajar dua. Papan tulis tersebut berisi goretan kapur, 'Sedjarah perdjoeangan Indonesia setelah Soempah Pemoeda di Batavia tahoen 1928'. Seolah menggambarkan apa yang diajarkan Hatta merupakan nilai-nilai kebangsaan. Bung Hatta tak pernah memungut bayaran atas kehadiran anak-anak.
Almarhum Des Alwi, salah satu murid Bung Hatta dalam catatannya pernah mengemukakan bahwa di sekolah ini terbagi menjadi dua kelas. Sekolah yang biasa diadakan sore ini dibagi berdasarkan usia. Bagi anak yang lebih muda usia, diajar oleh Bung Sjahrir. Sementara kelas di atasnya diajar Bung Hatta. Dua guru ini mengajarkan bahasa Belanda, aljabar, sejarah nusantara dan dunia, juga pengetahuan umum lainnya.
Pada 1944, rumah pengasingan Bung Hatta dibom sekutu hingga hancur. Rumah tersebut kemudian dibangun kembali seperti saat ini dan menjadi salah satu destinasi wisaya di Pulau Neira.
![]() |
Klik untuk selanjutnya: Rumah Pengasingan Bung Sjahjrir