Merekam Kisah Genosida dari Rumah Budaya Banda Neira
Rangkuman mengenai sejarah kolonialisme di Banda Neira bisa terwakili jika wisatawan berkunjung ke Rumah Budaya Banda Neira. Di museum mini ini, perjalanan masyarakat Banda Neira sejak ratusan tahun lalu dikisahkan secara visual.
Rumah Budaya Banda Neira berada di wilayah Nusantara, Jalan Rehatta Banda Neira. Sebuah rumah bergaya kolonial dengan pilar dan dinding kayu yang berada tak jauh dari penginapan Delfika. Jaraknya hanya sekitar 20 meter dari Pelabuhan Banda Neira.
Melalui sejumlah peninggalan yang tersimpan di Rumah Budaya ini, kita dapat dibawa ke terowongan waktu menuju Kepulauan Banda di awal abad ke-16. Sejumlah peninggalan mulai dari meriam, guci, hingga pecahan keramik tersimpan rapi di rumah yang dikelola oleh keluarga almarhum Des Alwi ini.
Pada 1512, Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang menyinggahi Kepulauan Banda di Maluku untuk membeli rempah-rempah. Dalam catatan sejarah yang banyak tertulis, Portugis melempar jangkar bersama mualim Melayu yang berlayar menyusuri Jawa, NTB, NTT hingga ke Maluku.
Sementara itu, Belanda datang di pengujung abad ke-16. Melalui pengerahan militer, VOC menyulap Kepulauan Banda menjadi pusat aktivitas monopoli rempah pertama kali di Nusantara, ajeg hingga berlangsung lebih dari 350 tahun.
Jejak waktu sejarah secara runut ini bisa kita saksikan langsung di Rumah Budaya Banda Neira. Misalnya, saat Belanda melalui VOC melakukan genosida paling brutal yang pernah terjadi di Nusantara. Sebuah lukisan tergantung di ruang tengah Rumah Budaya, menampilkan algojo seorang samurai yang tampak berdarah-darah.
Lihat Juga : |
Peristiwa berlatar Benteng Nassau itu merupakan kisah paling pedih sepanjang perjalanan Banda. Kala itu VOC di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen pada 1621 melakukan pembantaian 44 sosok berpengaruh di Banda (disebut sebagai Orang Kaya) secara brutal.
Jenazah ke-44 orang kaya ini dibuang ke dalam sumur tua di belakang Benteng Nassau. Saat ini, sumur tersebut masih ada di tengah hiruk pikuk warga Naira lalu lalang.
Monumen kelam itu dikenal sebagai Perigi Rante atau dalam bahasa setempat berarti "Sumur Berantai". Tak jauh dari sumur itu dibangun monumen peringatah. Kisah pembantaian Orang Kaya itu merupakan titik awal pembantaian sebanyak 14 ribu masyarakat Banda, depopulasi terbrutal demi monopoli rempah Pala.
Masih di ruangan utama Rumah Budaya, berjejer juga banyak etalase, tempat tersimpan rapi sejumlah peninggalan kecil berupa mata uang asing lama, mulai dari gulden, hingga guci-guci peninggalan China lama. Di dinding-dinding terpasang peta lama rute pelayaran bangsa Belanda menuju Banda Neira.
Lihat Juga : |
Selain peninggalan mengenai semua hal berbau kolonialisme, Rumah Budaya Banda Neira juga menyimpan banyak catatan tertulis mengenai tradisi-tradisi kuno masyarakat lokal. Benda-benda berbau tradisi sejarah masih tersimpan rapi di sana.
Tak cuma itu, di Rumah Budaya Banda Neira kita juga dapat melihat alat musik tradisional yang bisa berfungsi dan dapat dicoba pengunjung yang datang.
Biaya tiket masuk sebagai donasi pemeliharaan, para pengunjung cukup membayar Rp20 ribu dalam satu kali kunjungan. Dengan tiket murah dan segudang cerita dan benda bersejarah du dalamnya, Rumah Budaya Banda Neira ini sangat wajib kamu kunjungi saat berada di sana.