Kemenkes Klaim Resistensi Antibiotik di Indonesia Terus Meningkat
Meski angka kasus Covid-19 terus melandai, namun masyarakat tetap tak bisa lengah. Ada masalah kesehatan lain yang terus mengintai, yakni resistensi antibiotik atau antimikroba.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba atau KPRA dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Anis Karuniawati mengatakan bahwa resistensi antibiotik di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Anis memang tidak merinci total berapa kasus yang telah terjadi di Indonesia hingga saat ini. Hal yang pasti adalah pemberian obat secara sembarangan jadi penyebab resistensi antibiotik.
"Banyak antibiotik diberikan tanpa tahu persis penyebab penyakitnya. Meski data terbatas, terlihat jelas terdapat peningkatan masalah ini di Indonesia," kata Anis dalam acara diskusi bersama WHO dan FAO di Westin Jakarta, Rabu (12/10).
Meski tak ada angka pasti, tapi peningkatan ini bisa dilihat dari prevalensi daya tahan bakteri terhadap antibiotik tertentu.
Kata Anis, setiap tahun terjadi peningkatan prevalensi bakteri yang menjadi penyebab infeksi. Misalnya infeksi berat seperti tuberkulosis (TBC), radang paru, hingga sepsis.
Tingginya resistensi antibiotik ini juga dapat dilihat dari kasus tuberkulosis resisten obat (TB-RO) yang terus mengalami peningkatan di 2021. Untuk diketahui, TB-RO bisa terjadi saat bakteri Mycobacterium tuberculosis kebal terhadap obat TB lini 1.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, per 2021 saja, kematian pasien TB-RO mencapai 4 sampai 5 kali lebih besar dibanding pasien TB yang sensitif obat (TB-SO).
TB-SO bisa terjadi saat kuman Mycobacterium tuberculosis masih sensitif terhadap obat anti-TB. Pasien masih bisa menjalani masa pengobatan selama kurang lebih 6-9 bulan.
"Antibiotik diberikan untuk membunuh mikroba. Tapi kalau terjadi resistensi antibiotik, maka bakteri tadi jadi kebal terhadap obat-obatan yang digunakan," kata Anis.
(tst/asr)