Coba kalau kamu ketemu saya tiga atau empat tahun lalu, kamu akan menemukan seorang Mar (bukan nama sebenarnya) lengkap dengan muka muram dan tensi tinggi gara-gara tidak kunjung hamil dan punya momongan.
Pertanyaan soal momongan rasanya sudah bikin saya kenyang sejak usia pernikahan baru hitungan bulan. Pertanyaan itu pun datangnya dari keluarga suami. Keluarga saya terbilang santai dan tidak terlalu ikut campur urusan rumah tangga.
Dari sekian banyak pertanyaan yang datang, ada satu yang membuat saya sakit hati. Dia sepupu suami yang jarang kami temui. Sekali ketemu, bukan kabar yang ditanya dulu melainkan mana anak kami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gimana sih, mana, kok belum ada anaknya?"
Dia bertanya sambil tertawa. Mungkin niatnya bercanda, basa-basi, tapi,buat saya itu menyebalkan. Sangat menyebalkan malah. Sudah uring-uringan masalah pribadi, karena omongan miring keluarga suami, ini lagi ditambah dengan dark jokes macam itu.
Mereka seolah menuding bahwa sayalah yang bertanggung jawab akan penyebab kami belum memiliki keturunan. Wis lah, makin stres aku. Serasa tak ada yang membantu mendukungku dalam hal ini, semua menuntut anak, anak, dan anak.
Aku beruntung karena suamiku tak termasuk dalam 'kelompok penuntut anak.' Gak kebayang kalau dia juga termasuk salah satunya.
Meski tergolong masih pengantin baru dan tak selayaknya pusing seperti dikejar target punya anak karena tuntutan sosial, akhirnya aku mulai membulatkan tekad mencari jalan lain demi demi punya anak.
Kami pun memutuskan untuk menjalani program kehamilan di rumah sakit. Program kehamilan ini bukan program kehamilan seperti artis-artis itu, melainkan konsultasi, pemberian obat dan vitamin.
Selama program, ternyata dokter memvonisku dengan PCOS (Polycystic ovarian syndrom). Masalah ini yang membuat sel-sel telur sulit matang. Berbagai cara, obat, dan konsultasi dengan ahlinya untuk mengobati PCOS ini pun kulakoni. Akhirnya sel telur berhasil matang sempurna, ini harusnya jadi hari yang sempurna juga buat hari pembuahan.
Tapi mimpi indah tak terjadi semudah itu. Saat sel telur matang, aku justru menstruasi. Gagal sudah.
Lihat Juga : |
Kegagalan ini sempat bikin saya makin stres. Kami memutuskan tak lagi menjajal proses program kehamilan secara medis. Menyerah? Tidak juga, cuma coba cara lain. Banyak cara menuju Roma kan.
Kami memutuskan untuk ambil jalur alternatif atau herbal. Berangkat dari saran teman dan kerabat serta mencari informasi via internet,aku mencoba mengonsumsi kurma muda dan air rebusan buah zuriat yang katanya ampuh untuk kehamilan.
Dengan penuh harapan dan juga doa, rebusan buah zuriat dan kurma muda ini ku minum setiap hari. Sekitar 3-4 bulan minum air rebusannya, aku tak juga hamil. Nihil. Aku lelah.
Bukan nyerah tapi pasrah.