Jakarta, CNN Indonesia --
Nasib orang memang berbeda-beda, termasuk soal urusan punya anak. Ada yang beruntung segera diberikan momongan, ada juga yang harus bersusah payah demi bisa mendengarkan tawa renyah si kecil.
Entah apa penyebabnya, yang jelas, mendapatkan momongan di zaman kiwari rasanya begitu sulit. Tengok saja Rahadian dan Tari, pasangan suami istri yang tengah berjuang untuk mendapatkan momongan.
Februari tahun depan, usia pernikahan mereka genap dua tahun berjalan. Tapi sampai sekarang, Tari belum juga hamil. Tanda-tanda mau hamil pun rasanya belum muncul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, tetangga dan teman-teman masa muda keduanya hampir semua sudah memiliki keturunan. Terkadang, rasa iri itu muncul.
"Sedih, lho, tetangga aku semua sudah punya anak. Teman kerja, teman kuliah juga ada yang sedang hamil, ada yang anaknya sudah besar, kadang iri gitu," kata Tari pada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Mulanya, Tari berpikir punya anak itu perkara mudah. Bikin saja, nanti juga jadi.
Tapi, ternyata tidak semudah itu. Buktinya, sampai sekarang dia belum juga hamil anak pertama.
"Akhirnya kita coba konsul ke dokter kandungan. Ternyata kendala salah satunya ada di aku, aku terlalu gendut. Jadi memang harus menurunkan berat badan," kata Tari.
Tari pun menuruti perintah dokter tempatnya berkonsultasi, untuk menurunkan berat badan minimal 10 kilogram. Saat konsul, berat Tari memang termasuk berlebih, ada di 73 kilogram pada awal September kemarin.
Usaha dia menurunkan berat badan pun bukan yang tergolong ekstrem. Sebab, kata dokternya, dia juga tak boleh stres karena bisa memengaruhi tingkat kesuburan.
Perkara juga bukan hanya ada di dirinya. Suaminya juga bermasalah karena termasuk perokok berat. Keduanya sama-sama berusaha untuk memperbaiki kualitas reproduksinya sebelum memiliki keturunan.
"Dan ternyata memang tidak semudah itu, kita banyak yang harus dijalani. Kadang insecure juga karena, kok, enggak gampang kayak orang-orang, cuma ya dijalani saja," kata dia.
Ancang-ancang bikin plan B
 Ilustrasi. Beberapa pasangan di zaman kiwari sulit mendapatkan momongan. (iStock/Hiraman) |
Tak ada tunda menunda kehamilan bagi pasangan suami istri Soca dan Kinoy. Keduanya sepakat untuk membiarkan semua apa adanya.
Maklum, usia keduanya sudah terbilang mendekati 'ambang batas'. Soca berusia 34 tahun, sementara Kinoy kini telah menginjak usia 37 tahun. Sebentar lagi, pernikahan mereka genap berusia dua tahun.
"Mau nunda gimana? Semakin ditunda, ya, keburu semakin tua. Lebih susah lagi [buat hamil]," ujar Soca bercerita pada CNNIndonesia.com.
Berbagai upaya telah dilakukan, tak peduli itu mitos atau bukan. Termasuk berhubungan badan secara rutin tanpa pengaman hingga mengangkat kaki ke atas setelah sesi ranjang.
Mereka juga sempat mengatur jadwal berhubungan di masa subur. Soca membuat kalendernya sendiri. Tapi, apa lacur, upaya itu pun tak membuahkan hasil.
Tak pede pada kondisi tubuhnya masing-masing, Soca dan Kinoy memilih untuk mulai mendiskusikan rencana alternatif. Mereka berencana untuk mengadopsi anak jika cara-cara alami dan berbagai vitamin yang dikonsumsi tak membuahkan hasil dalam waktu beberapa tahun ke depan.
"Kalau terus menunggu tanpa tahu kapan hasilnya, bisa-bisa ketuaan. Anak masih kecil, saya sama suami udah jompo, enggak bisa cari duit lagi," kata Soca sedikit bergurau. Faktor ekonomi untuk membesarkan anak juga turut menjadi pertimbangan.
Rencana itu bahkan telah disampaikan Soca dan Kinoy pada pihak keluarga. Tak sulit bagi mereka untuk membuat kedua keluarga memaklumi kondisinya. Beruntung, keduanya lahir dalam keluarga yang pola pikirnya cukup terbuka.
Bukannya mau melawan takdir, tapi Soca dan Kinoy sadar betul bahwa keduanya memiliki beberapa faktor risiko yang bisa bikin tingkat kesuburan menurun.
Selain menikah di usia lebih dari 30 tahun, keduanya adalah perokok berat. Belum lagi masalah mental yang dialami Soca hingga saat ini. Tahun 2020 lalu, Soca didiagnosis mengalami gangguan cemas.
Simak cerita pejuang dua garis biru di halaman selanjutnya..
Keduanya juga tak berpikir untuk mengikuti program hamil yang harganya selangit. Program dilakukan hanya dengan mengonsumsi vitamin.
Rasa ragu untuk mengikuti program hamil semakin kuat saat Soca melihat pengalaman teman-temannya. Ada yang tiga tahun program tapi belum juga membuahkan hasil, ada yang berhasil tapi malah keguguran.
"Kami, sih, realistis aja. Jujur saja, selain enggak mampu [biaya], takut kalau gagal nanti saya malah stres berat, nge-drop lagi," ujar Soca.
Bagi Soca, ingin punya momongan itu boleh-boleh saja dan wajar. Tapi jangan sampai keinginan itu mengorbankan diri sendiri dan orang-orang di sekitar.
"Intinya, sih, kami pasrah saja. Kalau dikasih [momongan], alhamdulillah banget. Kalau enggak dikasih pun, enggak apa-apa, kita coba plan B," kata Soca.
Toh, menurut Soca, di zaman kiwari, ada banyak pilihan menyoal momongan. Pola pikir masyarakat yang semakin cair membuat keduanya pede dengan rencananya.
"Lagi pula, kalau pun ternyata enggak dikasih [momongan] dan harus adopsi, itu, kan, sama dengan kita membantu orang lain, mengurus anak yang enggak keurus," kata Soca.
Memilih balik kanan
Entah telah berapa belas atau puluh juta yang dikeluarkan pasangan Meisa (33) dan Agri (38). Duit itu dikeluarkan demi memenuhi keinginan untuk punya momongan.
Sejak 2020 lalu, keduanya sepakat untuk menjalani program hamil. Bukan apa-apa, menikah sejak tahun 2015 lalu, tapi tak ada juga kabar kehamilan yang datang.
"Kamu dan suami terlalu sibuk, under pressure terus," ujar Meisa, meniru kembali omongan dokter yang menanganinya kala itu.
 Ilustrasi. Beberapa pasangan juga memilih menyerah setelah program hamil tak kunjung memberikan hasil. (iStock/vadimguzhva) |
Keduanya memang sama-sama bekerja. Parahnya lagi, keduanya sama-sama bekerja di industri kreatif yang sibuknya minta ampun. Pulang kerja dini hari, ya, sudah biasa.
Dokter meminta keduanya untuk mengurangi porsi kerja. Tapi, rasanya susah minta ampun.
Masalah kesuburan dialami baik oleh Meisa maupun Agri. Maklum, selain sibuk kerja dan sering stres, sejak lama juga keduanya adalah perokok berat.
Tiga tahun program berjalan, dua garis biru tak juga didapat. Mereka memilih untuk balik kanan alias berhenti.
Padahal, duit yang sudah dikeluarkan tentu tak sedikit. Dalam setiap satu kali konsul atau tindakan saja, minimal duit Rp2 juta sudah harus direlakan keluar dari tabungan. Hitung saja, berkali-kali tindakan dan konsul selama hampir tiga tahun. Entah berapa jumlahnya.
"Dipikir-pikir lagi, kalau pun kita terus lanjut [program] dan ngeluarin duit, kita juga enggak tahu kapan ini berakhir dan ada hasilnya," ujar Meisa.
Di samping itu, jauh di lubuk hati terdalam, Meisa sadar bahwa dirinya mungkin belum yakin betul untuk mengambil komitmen itu. Salah satu contoh sepele adalah keduanya yang masih sering curi-curi kesempatan untuk merokok.
"Program hamil tuh harus komitmen, termasuk urusan biaya dan gaya hidup. Kalau enggak komitmen, ya, seperti kami jadinya," kata Meisa.
Kini, Meisa dan Agri memilih untuk hanya menggunakan sistem kalender kesuburan dan mengonsumsi vitamin yang diperlukan. Ujung-ujungnya, cara alami-lah yang dipilih.
Jika pun tak diberikan momongan, mereka siap. Jalan keluarnya apa, bisa nanti dipikirkan lagi.
"Kalau sekarang, sih, saya mikirnya, ah, ya udah, kita hidup ngerawat anabul-anabul (hewan peliharaan) di rumah aja. Mereka juga udah kita anggap anak," kata Meisa.
Alih-alih terus gigih berjuang untuk mendapatkan kabar dua garis biru, kini Meisa dan Agri memilih fokus untuk terus membangun kebahagiaan rumah tangga.
"Untuk hal ini, egois sedikit tak apa lah. Toh, yang menjalani juga kita. Ya, kita pacaran aja dulu terus sampai nanti mukjizat itu datang," ujar Meisa.
Keinginan punya momongan tak harus sampai mengorbankan kebahagiaan rumah tangga. Toh, masih banyak hal yang harus dijalani dan dipikirkan. Karena rumah tangga, bagi Meisa, tak cuma menyoal punya momongan.