Setelah Perjanjian Giyanti (1755), masing-masing wilayah, baik Solo maupun Yogyakarta, mempertahankan konsep paes. Namun tentu, dengan beberapa perkembangan dan sedikit perbedaan.
Berikut beberapa unsur yang muncul dalam paes, utamanya di Yogyakarta.
Penunggul merupakan area paling besar pada paes dan berada di tengah-tengah dahi. Ukurannya yang besar menyimbolkan kebesaran seorang perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penunggul ini paling besar, lambang kebesaran bahwa perempuan itu dihormati, dijunjung tinggi dalam rumah tangga," kata Yono.
Disebut pengapit karena fungsinya mengapit penunggul. Pengapit mengandung filosofi bahwa istri senantiasa mendampingi suami dalam suka maupun duka.
Penitis memiliki bentuk hampir sama seperti penunggul, tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Jika penunggul berukuran tiga ruas jari, maka penitis sekitar satu setengah ruas jari.
"Penitis itu pratitis, titis [dalam bahasa Jawa berarti] tepat sasaran. Istri diharapkan bisa mengelola [keuangan] dengan baik, membangun rumah tangga dengan kearifan, kebijaksanaan, sehingga tujuan tepat dalam berkeluarga," jelas Yono.
Paes Jogja memiliki bentuk ujung agak runcing atau bersudut.
Terdapat pada area pelipis, godeg paes Jogja memiliki bentuk mirip pangot atau pisau yang digunakan untuk mencungkil daging kelapa. Hal ini memunculkan istilah godeg mangot klapa atau bentuk godeg yang menyerupai pangot kelapa.
Yono menjelaskan godeg mengandung makna perempuan harus selalu ingat sangkan paraning dumadi atau asalnya. Ia dituntut untuk selalu mawas diri dalam melangkah.
"Sisi ujung godeg tadi kan lancip, melambangkan perempuan selalu mengasah diri sehingga lancip ing panggrahita atau cerdas dan tanggap dalam segala keadaan," imbuhnya.
(els/asr)