Sejauh mata memandang, hanya tampak warna hijau dan gradasinya. Dilihat dari ketinggian menara setinggi 40 meter, dataran hutan Amazon tertutup rapat oleh vegetasi endemik hutan tropis.
Suara satwa sahut-menyahut. Kalau mau mengamati dan sabar, dalam 10 menit kita bisa menyaksikan puluhan jenis burung sibuk beterbangan dari satu gerumbul pohon ke pucuk ranting lain.
"Anda tidak bisa menemukan (suasana) ini di sembarang hutan, sebagian besar (burung) adalah endemik. Sampai saat ini kita belum tahu persis, ada berapa banyak spesies burung di Amazon, tetapi perkiraannya sekitar 3000-an," kata ahli burung dan ilmuwan di Institut Riset Nasional Amazon, Brazil, Mario Cohn-Haft.
Maraknya pembalakan hutan untuk kayu, berubahnya hutan menjadi padang rumput untuk peternakan, pertanian jagung dan kedelai serta pertambangan, membuat Cohn-Haft gusar.
Amazonia, wilayah yang meliputi seluruh aliran Sungai Amazon termasuk hutan tropis, perairan, rawa, dan seluruh ekosistemnya, adalah bagian dunia yang memiliki jumlah spesies satwa liar terbesar di dunia. Spesies tanamannya saja diperkirakan mencapai 50 ribu jenis.
Ditambah ribuan spesies burung, serangga, reptil, ikan dan seterusnya, Amazon menjadi surga bagi penikmat turisme lingkungan (ekowisata).
Menurut The International Ecotourism Society (TIES) ekowisata adalah "perjalanan yang bertanggung jawab ke lokasi alami dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat".
Pemandu wisata Priscilla Diniz menilai model bisnis ekowisata adalah pilihan terbaik untuk eksploitasi alam liar karena sekaligus berfungsi sebagai konservasi. Beberapa tahun terakhir arus turis alam liar ke Brazil untuk mengamati burung mengalir lancar.
Sebagai ahli burung (ornithologist) Diniz biasa dikontak biro wisatawan untuk mendampingi pengamat burung (bird watcher) dari Amerika Serikat, Eropa dan Jepang.
Mereka menyewa pemandu rata-rata satu sampai dua pekan menyusur Amazon melihat ratusan burung dalam habitat aslinya - yang tidak dapat dijumpai di lokasi lain manapun di dunia.
"Pengamat burung adalah kelompok dengan daya beli sangat baik. Mereka bersedia membelanjakan uang uang untuk menghidupkan ekonomi lokal. Tidak rewel soal fasilitas, cuma butuh tempat tidur, mandi, makanan. Target utamanya adalah pengalaman melihat burung. Kenapa bukan industri semacam ini yang dikedepankan?" ujar Diniz dalam Bahasa Inggris bercampur Porto.
Tetapi populasi wisatawan ini tidak besar karena perjalanan melihat burung atau flora-fauna Amazonia tidak murah.
Jika menghitung tiket penerbangan sampai Kota Manaus yang sering dijadikan sebagai pelabuhan terdekat ke arah sungai-sungai Amazonia, sewa kapal, pemandu, BBM, makan-minum, asuransi, kocek yang dirogoh bisa mencapai US$10 ribu (sekitar Rp140 juta) untuk sepasang turis.
"Memang tipe turisnya beda," kata Moacir Mendes alias Mo, pemilik tujuh armada kapal pesiar yang melayani rute keliling Amazonia hingga perbatasan Brazil dengan Peru, Bolivia, Suriname dan sekitarnya.
"Pengguna jasa kami adalah kelompok ekspedisi. Untuk penelitian, edukasi, antropologi. Umumnya dari institut atau universitas. Kapasitas maksimumnya 24 orang (per kapal)," kata Moacir.
Mereka harus mendaftar jauh hari supaya bisa dilayani Amazonia Limited, perusahaan pelayaran milik Mo. Jadwalnya bahkan sudah terisi sampai tahun 2024.
"Ini bukan jenis wisatawan yang menuntut layanan hotel berbintang. Mereka cuma peduli pada satwa liar, titik. Makan-minum dilayani di kapal. Kalau mau menginap di darat biasanya tinggal di rumah penduduk yang sederhana, seadanya, karena yang dicari memang eksperiens otentik Amazonia," tambahnya.
Dalam setahun Mo mengangkut sekitar 300 wisatawan semacam ini, hampir seluruhnya warga asing.
Armada kapal Mo menjemput wisatawan di pelabuhan kemudian berlayar menempuh rute yang sudah dipilih. Untuk perjalanan sepanjang dua pekan misalnya, pelayaran bisa sampai perbatasan Bolivia, Suriname atau Peru. Kapal bisa berhenti di mana saja dan menawarkan kegiatan menarik sepanjang rute.
 Kapal Dorinha, salah satu armada milik Moacir Mendes alias Mo, yang beroperasi di hutan Amazon, Brasil. (CNN Indonesia/Dewi Safitri) |
Pembalak insyaf
Menurut laporan ekowisata Global Million Insights, pada tahun 2021 nilai industri ini di dunia mencapai US$190 miliar (Rp2.840 triliun). Pasar terbesarnya ada di Asia Pasifik disusul oleh Amerika Utara dan kemudian Timteng beserta Afrika.
Hingga 2018 diperkirakan industri ini akan tumbuh lebih dari 10% per tahun menjadi US$385 miliar (Rp5.755 triliun).
Roberto Brito de Mendoza adalah generasi ketiga pembalak hutan di sepanjang Igarape Tumbira, salah satu anak Sungai Rio Negro sekitar 70 km Kota Manaus. Kakek dan ayahnya adalah penebang hutan. Pada umur 10 tahun, Mendoza sudah memanggul gergaji.
"Kakek saya menggunakan gergaji manual, seminggu dapat 3-4 batang pohon. Dijual ke pengumpul log digergaji diangkut ke kota," kenangnya.
Semua laki-laki dalam keluarganya jadi penebang kayu. Dengan gergaji mesin, sehari bisa memotong 3-4 pohon.
"Tapi hidup kami sama seperti jaman orangtua. Miskin, kerja untuk cari makan hari ini saja," tambahnya.
Saat pemerintah dan beberapa pelaku industri --seperti jaringan Bank Bradesco dan Coca Cola-- saweran untuk investasi komunitas ekowisata tahun 2010, Mendoza memutuskan ikut.
Sesuai rembug warga komunitas pembalak hutan, dana investasi dipakai sebagai modal membangun pondok penginapan, sekolah, dok sederhana untuk sandar perahu, sekolah, rumah guru, jaringan internet, jaringan air bersih, jamban dan bahkan gereja.
Pemerintah memberi uang tunai saban bulan sebagai ganti penghasilan dari menebang hutan, semacam mekanisme BLT di Indonesia. Mata pencarian warga sekarang dialihkan pada melayani turis yang menginap, bercocok tanam untuk kebutuhan sendiri dan dijual jika berlebih, serta mengerjakan kerajinan tangan.
Kebijakan pemerintahan Presiden Brazil Lula Inacio Da Silva saat itu membawa hasil mencengangkan: pembalakan hutan berhasil ditahan sampai 80% - prestasi terbaik yang pernah dicapai Brasil.
Keluarga Marcio Lira datang berkunjung dari Sao Paulo Oktober lalu. Bersama anak, istri dan ibunya. Lira menghabiskan beberapa hari menginap dan menjelajah Tumbira.
"Saya baca soal tempat ini dari internet. Sepertinya menyenangkan pasti bagus untuk anak saya yang tahunya jalan-jalan di kota saja." Kata Lira yang berprofesi sebagai pengacara. Ia memuji Tumbira yang kaya dengan suasana alam, tenang dan sangat bersih.
Dalam sebulan, Komunitas Tumbira bisa menerima sampai 40 penginap.
"Karena kalau jumlah tamu meledak, katakanlah 40 orang seminggu, kami tidak akan sanggup. Daya dukung lingkungannya juga tidak akan sanggup. Rusak nanti alam Tumbira," Roberto Mendoza menjelaskan.
Keterbatasan jumlah konsumen ini menurut ilmuwan hutan tropis Rita Mesquita adalah salah satu karakter utama ekowisata di Amazonia. Berlawanan dengan prinsip industri kapitalistik yang mendorong menjual jasa sebesar-besarnya, ekowisata akan rusak jika dipaksa melayani tamu di luar kapasitasnya.
"Ini industri jasa yang tidak murah. Bayangkan wisatawan harus terbang dari Sao Paulo (kota terbesar di Brazil) menuju Manaus, dijemput dari bandara dibawa dengan kapal ke mari, kamar dan makan-minum. Konsumennya tersegmentasi sehingga jumlah penghasilan juga terbatas. Karena itu ekowisata saja tidak cukup," ujar Mesquita.
Agar bisa bertahan menurutnya ekowisata harus punya sumber penghasilan sampingan. Bertanam sayur-mayur, bahan pokok dan perikanan, kerajinan tangan, bisa jadi alternatif.
"Sepanjang dikembangkan dalam batas daya dukung alami yang sesuai, bukan dengan membabat hutan dan merusak sekitarnya, saya kira nasib ekowisata akan lebih lestari."
Pertanyaannya: bagaimana perbandingan ekonomi ekowisata dibanding usaha mengeksploitasi hutan seperti pembalakan, tambang atau kebun sawit?
Raja Ampat adalah contoh paket ekowisata premium Indonesia dan tahun 2023 dinyatakan sebagai tujuan wisata terbaik dunia versi Lonely Planet.
Di Indonesia, ekowisata mulai dikenal sejak 1991 dan empat tahun kemudian sudah berdiri Indonesian Ecotourism Organization (Idecon). Ketuanya saat ini Ary Suhendi mengatakan nilai ekowisata sangat berbeda dengan industri ekstraktif umumnya.
"Nilai tambang atau nilai kayu kalau dihitung nilai finansialnya dan dibandingkan dengan nilai finansial pariwisata pasti lebih besar. Namun perlu dihitung pula nilai kerusakan dan kehilangan nilai ekosistem lainnya saat tambang dan kayu ditebang, kita kehilangan nilai ekonomi dari jenis jenis lain non-kayu yang nilainya lebih besar dari kayu itu sendiri.
Demikian juga dengan tambang, hilangnya hutan dan kerusakan ekologi yang ditimbulkan juga besar, termasuk bencana dan berdampak negatif jangka panjang, sehingga kehilangan nilai ekonomi berkepanjangan paska penebangan dan tambang," tulis Ary melalui surat elektronik.
Dengan kata lain, meski nilainya lebih kecil secara finansial, ekowisata punya dampak sosial dan ekologis yang lebih besar dan pada akhirnya memberi nilai ekonomi jauh lebih tinggi.
Di negara dengan sedikitnya 50 taman nasional, enam di antaranya adalah World Heritage Site (Situs Warisan Dunia), Indonesia sangat ideal sebagai tujuan ekowisata.
"Ekowisata mendorong kita mengelola sumber daya alam kita secara berkelanjutan. Semakin dilestarikan semakin memberikan nilai ekonomi tinggi," kata Ary.
Konsep ekowisata premium ditawarkan di resor high end seperti Missol di Raja Ampat, Plataran di Taman Nasional Bali Barat dan Nihiwatu di Sumba Barat. Untuk kelas kecil-menengah, ekowisata bisa dijumpai di Bali, Jawa, Sumatera, Raja Ampat, Wakatobi, Flores, Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan sebagainya. Termasuk diantaranya pengembangan ekowisata berbasis masyarakat (community-based ecotourism/CBeT) seperti di Tangkahan, Langkat Sumsel serta Gunung Api Purba Nglanggeran di Gunung Kidul Yogyakarta.