Keluarga Marcio Lira datang berkunjung dari Sao Paulo Oktober lalu. Bersama anak, istri dan ibunya. Lira menghabiskan beberapa hari menginap dan menjelajah Tumbira.
"Saya baca soal tempat ini dari internet. Sepertinya menyenangkan pasti bagus untuk anak saya yang tahunya jalan-jalan di kota saja." Kata Lira yang berprofesi sebagai pengacara. Ia memuji Tumbira yang kaya dengan suasana alam, tenang dan sangat bersih.
Dalam sebulan, Komunitas Tumbira bisa menerima sampai 40 penginap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena kalau jumlah tamu meledak, katakanlah 40 orang seminggu, kami tidak akan sanggup. Daya dukung lingkungannya juga tidak akan sanggup. Rusak nanti alam Tumbira," Roberto Mendoza menjelaskan.
Keterbatasan jumlah konsumen ini menurut ilmuwan hutan tropis Rita Mesquita adalah salah satu karakter utama ekowisata di Amazonia. Berlawanan dengan prinsip industri kapitalistik yang mendorong menjual jasa sebesar-besarnya, ekowisata akan rusak jika dipaksa melayani tamu di luar kapasitasnya.
"Ini industri jasa yang tidak murah. Bayangkan wisatawan harus terbang dari Sao Paulo (kota terbesar di Brazil) menuju Manaus, dijemput dari bandara dibawa dengan kapal ke mari, kamar dan makan-minum. Konsumennya tersegmentasi sehingga jumlah penghasilan juga terbatas. Karena itu ekowisata saja tidak cukup," ujar Mesquita.
Agar bisa bertahan menurutnya ekowisata harus punya sumber penghasilan sampingan. Bertanam sayur-mayur, bahan pokok dan perikanan, kerajinan tangan, bisa jadi alternatif.
"Sepanjang dikembangkan dalam batas daya dukung alami yang sesuai, bukan dengan membabat hutan dan merusak sekitarnya, saya kira nasib ekowisata akan lebih lestari."
Pertanyaannya: bagaimana perbandingan ekonomi ekowisata dibanding usaha mengeksploitasi hutan seperti pembalakan, tambang atau kebun sawit?
Raja Ampat adalah contoh paket ekowisata premium Indonesia dan tahun 2023 dinyatakan sebagai tujuan wisata terbaik dunia versi Lonely Planet.
Di Indonesia, ekowisata mulai dikenal sejak 1991 dan empat tahun kemudian sudah berdiri Indonesian Ecotourism Organization (Idecon). Ketuanya saat ini Ary Suhendi mengatakan nilai ekowisata sangat berbeda dengan industri ekstraktif umumnya.
"Nilai tambang atau nilai kayu kalau dihitung nilai finansialnya dan dibandingkan dengan nilai finansial pariwisata pasti lebih besar. Namun perlu dihitung pula nilai kerusakan dan kehilangan nilai ekosistem lainnya saat tambang dan kayu ditebang, kita kehilangan nilai ekonomi dari jenis jenis lain non-kayu yang nilainya lebih besar dari kayu itu sendiri.
Demikian juga dengan tambang, hilangnya hutan dan kerusakan ekologi yang ditimbulkan juga besar, termasuk bencana dan berdampak negatif jangka panjang, sehingga kehilangan nilai ekonomi berkepanjangan paska penebangan dan tambang," tulis Ary melalui surat elektronik.
Dengan kata lain, meski nilainya lebih kecil secara finansial, ekowisata punya dampak sosial dan ekologis yang lebih besar dan pada akhirnya memberi nilai ekonomi jauh lebih tinggi.
Di negara dengan sedikitnya 50 taman nasional, enam di antaranya adalah World Heritage Site (Situs Warisan Dunia), Indonesia sangat ideal sebagai tujuan ekowisata.
"Ekowisata mendorong kita mengelola sumber daya alam kita secara berkelanjutan. Semakin dilestarikan semakin memberikan nilai ekonomi tinggi," kata Ary.
Konsep ekowisata premium ditawarkan di resor high end seperti Missol di Raja Ampat, Plataran di Taman Nasional Bali Barat dan Nihiwatu di Sumba Barat. Untuk kelas kecil-menengah, ekowisata bisa dijumpai di Bali, Jawa, Sumatera, Raja Ampat, Wakatobi, Flores, Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan sebagainya. Termasuk diantaranya pengembangan ekowisata berbasis masyarakat (community-based ecotourism/CBeT) seperti di Tangkahan, Langkat Sumsel serta Gunung Api Purba Nglanggeran di Gunung Kidul Yogyakarta.
(vws)