Jakarta, CNN Indonesia --
Bagi turis, Jepang dikenal sebagai negara yang ramah, sopan, jujur, dan pekerja keras. Anggapan itu tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar.
Pertama kali mendapat kesempatan bekerja di salah satu perusahaan di Jepang, saya sudah dikejutkan saat akan menyewa apartemen. Saya mendapat banyak penolakan dari para pemilik apartemen di Jepang, karena status saya seorang gaijin atau orang asing atau orang non-Jepang.
Padahal, untuk mencari apartemen di Jepang, saya sudah dibantu seorang agen expatriate yang mengurusi kepindahan saya. Saya banyak ditolak pemilik apartemen, karena saya seorang gaijin. Mereka takut tidak bisa taat pada aturan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walaupun akhirnya mendapatkan apartemen, tapi pengalaman itu cukup membekas. Hampir dua tahun saya menjadi residen di sini dan untuk beberapa hal, saya masih merasakan culture shock, karena ternyata banyak peraturan tidak tertulis di sini dan norma-norma sosial yang sangat ketat.
Sebelum saya pindah ke sini, memang saya melakukan web-research, namun saya pikir, artikel-artikel yang saya baca hanyalah sebuah kabar burung sampai saya mengalami sendiri.
Ketika kamu pergi ke Jepang sebagai turis dengan ke Jepang sebagai residen, itu sangat berbeda. Saat kita datang ke Jepang sebagai turis, kita hanya datang untuk berlibur dan mengunjungi tempat-tempat yang "touristy" sehingga mereka harus menunjukkan keramahannya sebagai bentuk manners yang baik.
Namun, sebagai turis tentu kita tidak mendapatkan pengalaman yang serupa dengan ketika kita tinggal di Jepang sebagai residen yang tinggal dan beraktivitas, serta berkomunikasi sehari-hari dengan warga lokal sekitar. Tidak jarang, saya mengalami penolakan-penolakan atau komentar-komentar yang kurang ramah hanya karena saya tidak terlalu fasih dalam berbahasa jepang.
Jika mereka baik di depan, di belakang belum tentu. Ketika mereka bilang setuju, belum tentu setuju. Tetapi, mereka akan bersikap baik dan tidak secara langsung menunjukkan ketidaksukaannya ataupun ketidaksetujuannya di depan lawan bicaranya supaya menghindari konflik. Hal ini memang bagus, tetapi, ada saatnya ketika sebaiknya kita bisa mengutarakan opini kita yang sebenarnya.
Selain itu, tinggal di negara dengan pace yang cepat seperti di Tokyo, di mana semua hal sepertinya terasa in a rush, penuh dinamika, saya merasa kita harus benar-benar cukup siap mental menghadapi dinamika kehidupan di sini.
Saya pernah diperingatkan seorang teman yang warga asli Jepang. "Ini bukan negara kamu, kalau kamu mau bertahan di sini, kamu harus bisa melakukan segala sesuatunya sendiri," ucapnya kepada saya kala itu.
Saya mengerti bahwa mereka sangat individualistis dan sangat memegang reputasi mereka. Salah satu yang mereka yakini adalah hidup tidak boleh merepotkan orang lain. Tapi mengalami dan mendengar perkataan itu secara langsung, tentu perasaan saya campur aduk, sangat berbeda dengan prinsip gotong royong di negara saya tercinta, Indonesia.
 Suasana jalanan Kota Tokyo, Jepang. (Arsip Pribadi Fransisca Wardhani) |
Lain kesempatan, pernah suatu saat di sebuah toko bahan makanan supermarket, saya hendak membayar barang belanjaan, karena ada satu barang yang ingin saya tanyakan kepada penjual, tapi sebelumnya saya bilang, maka saya bertanya dengan bahasa Jepang seadanya kepada kasir: "Maaf, saya tidak mengerti bahasa Jepang, boleh tolong bicara jelaskan dengan Bahasa Inggris."
Seketika saya dibentak oleh penjual toko bahan makanan itu kasir tersebut, kemudian dia menjawab sambil berteriak: "Tidak bisa bahasa Inggris! Tolong Bahasa Jepang!" Padahal, saat itu saya sudah meminta dengan sopan. Ada yang bilang mereka memang tidak percaya terhadap gaijin. Tanpa berpikir panjang dan menghindari konflik, saya akhirnya tetap membayar barang tanpa meminta penjelasan lagi.
Beberapa teman memang mengatakan kepada saya bahwa kebanyakan mereka tidak percaya kepada gaijin dan tetap berhati-hati ketika tinggal di Jepang, karena untuk mengetahui aslinya mereka seperti apa, kita harus tinggal day to day di sini dan bukan hanya sekedar menjadi turis.
Pengalaman lainnya, ketika saya baru minggu-minggu awal tiba di Tokyo, saya kaget melihat orang-orang yang terkapar tertidur di jalan karena kebanyakan minum-minum ataupun orang yang berteriak-teriak seperti orang stres di jalanan, di kereta, di stasiun. Hal-hal yang awalnya hanya saya lihat di social media, ternyata saya akhirnya bisa melihatnya secara langsung.
Saya juga pernah lihat ada orang Jepang sedang membentur-benturkan kepalanya ke tiang listrik. Tapi, orang-orang di sini sudah biasa melihat hal seperti itu. Masyarakat di Jepang juga punya stigma bahwa manusia harus kuat. Jadi, untuk mempertahankan reputasi itu, mereka berusaha kuat, yang seringkali kemudian tidak memperhatikan kesehatan mental dan mengalihkan stresnya dengan minum-minum.
Mereka juga kalau terkenal sangat berhati-hati untuk bercerita atau berteman karena takut dianggap lemah. Memang terdengar aneh, tapi seperti itulah adanya.
Kalau melihat ada orang pakai baju kantor, terus mabuk sampai ketiduran di trotoar jalan, bahkan bisa sampai pagi, itu sudah biasa di sini. Bakal sering lihat lah kalau tinggal di sini.
Terlepas dari semua itu, yang saya salut adalah keamanan Jepang, barangkali salah satu yang terbaik di dunia. Puji Tuhan, saya pulang kerja tengah tengah malam,
jalan kaki, aman sampai ke apartemen. Apartemen saya sendiri ada di area Toshimaku, Tokyo.
Memang ada beberapa area-area yang red district, sebaiknya kalau pergi ke area red district, jangan pergi sendirian terutama untuk perempuan dan orang asing.
Bicara soal berita yang lagi banyak beredar tentang orang Jepang tidak mau punya anak, saya tidak bisa mengatakan semua orang Jepang berpendapat serupa. Tapi, kebanyakan teman-teman saya yang warga Jepang lokal di sini, mereka tidak mau punya anak, dan kalaupun ada yang ingin program punya anak, mereka hanya ingin punya satu anak saja.
Ketika saya tanya apa pandangan mereka untuk tidak mau punya anak, beberapa menjawab bahwa memiliki anak berarti perubahan rencana hidup, hidup mereka harus berubah, mimpi-mimpi mereka harus disesuaikan.
Banyak orang di sini, ketimbang punya anak, mereka lebih pilih punya hewan peliharaan. Jadi, anjing dan kucing di Jepang sering diperlakukan seperti bayi. Kereta bayi di sini tuh isinya bukan bayi, tapi binatang peliharaan.
Padahal, tunjangan dari pemerintah untuk pasangan yang ingin punya anak, sangat luar biasa, dari mulai insentif yang tidak kecil nominalnya, sampai maternity leave untuk ibu adalah 1 tahun dan paternity leave untuk ayah adalah 6 bulan, semua itu tetap dibayarkan 70 persen dari gaji, tapi tetap saja mereka kebanyakan memilih tidak mau punya anak.
Bicara soal budaya disiplin orang Jepang, hal itu sangat benar adanya bahwa mereka sangat disiplin dengan memiliki budaya kerja yang luar biasa. Libur nasional di sini lebih banyak daripada di Indonesia, dan biasanya ada kantor-kantor yang memberikan tambahan hari libur di luar libur nasional.
Tapi, tetap saja, orang-orang lebih memilih untuk bekerja. Mereka terlihat memang selalu bekerja tetapi bagi yang bisa menikmati ritme kerja dan hidup di sini, pasti akan enjoy bekerja di sini.
Satu hal, saya juga diingatkan teman saya untuk tidak pernah bertanya seperti: "Kamu kerja terus, apa tidak punya kehidupan?". Pertanyaan itu sangat menyakitkan bagi mereka karena kerja itulah bagian dari hidup mereka.
Sepulang kerja, seringkali para pekerja akan pergi nomikai atau minum-minum setelah bekerja. Dan bagi mereka, hal itu bukan sekadar minum-minum tetapi juga dianggap sebagai budaya yang penting, cara mereka berkomunikasi dengan rekan kerja, rekan bisnis, klien ataupun potensi rekan bisnis.
Kalau kamu bisa minum lama dan tidak mabuk hingga tetap terkontrol, itu berarti kamu bisa diajak minum sama level yang lebih tinggi di dunia kerja. Itu sebenarnya tentang self-control dan tetap menjaga profesionalitas kita.
Dan mereka juga sangat menghargai, misalnya kita tidak bisa minum karena punya alergi terhadap minuman atau tidak bisa minum karena alasan agama. Mereka akan menghormati dan tidak akan memaksa.
Dari semua pengalaman tersebut, tinggal hampir dua tahun di Tokyo, mengajarkan saya banyak hal. Sejauh ini, dengan semua kesulitan yang saya alami, saya senang tinggal di sini walaupun dengan ritme hidup yang sangat cepat.