Jakarta, CNN Indonesia --
Sejak kecil saya selalu bermimpi akan luar negeri, khususnya Eropa. Menikmati keindahan alamnya, merasakan segarnya udara di sana, bagaimana hectic-nya ketika menyeberang di "lampu merah" atau menyeberang tanpa harus menunggu motor dan mobil sepi.
Bebas melenggang tanpa harus lihat kanan-kiri asal berada di jalur zebra cross. Menyeberang tanpa khawatir diserempet sepeda motor ngebut yang pengemudinya tak memakai helm.
Impian saya berawal dari sebuah kulkas di rumah kakak tertua Papa yang biasa kami panggil dengan sebutan Mama Haji. Ada begitu banyak magnet tertempel di kulkasnya, sebuah tanda bahwa ia telah menyambangi banyak negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai magnet dari sejumlah negara di Asia Tenggara dan Eropa, Australia, Selandia Baru, Mesir, hingga Saudi Arabia. Dari sanalah saya mulai mengenal dunia meski hanya lewat sebuah tempelan kulkas.
Tapi sungguh, itu sangat menginspirasi saya waktu kecil. Saya pun mulai mewujudkan satu persatu mimpi saya dan melakukan hal serupa ketika mendapat rezeki ke luar negeri.
Ya, selain cokelat, magnet kulkas menjadi buah tangan untuk teman, kerabat, atau keluarga sepulang dari luar negeri. Saya ingin para sepupu atau keponakan mulai merangkai mimpi akan luar negeri, entah untuk pelesir atau studi.
Seperti penggalan lagu Usik milik Feby Putri, Tuhan itu baik, merangkai ceritaku sehebat ini. Tetap menunggu dengan hati yang lapang. Bertahan dalam macamnya alur hidup. Sampai bisa tiba bertemu cahaya. Allah memang Maha Baik!
Kini, saya berkesempatan tinggal di Belgia - sebuah negara yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. First impression saya akan negara ini, daerah dan cuacanya bersih, indah karena banyaknya bunga yang bermekaran anggun di musim panas, dan bangunan-bangunan tua khas Eropa yang masih terjaga.
 Alih fungsi gereja di Belgia menjadi restoran. (AP Photo/Virginia Mayo) |
Bukan hanya itu, orang-orang sekitar juga ramah. Meski tak saling kenal tapi kami melempar senyum atau menganggukkan kepala. Ketika saya sedang berbelanja di Colruyt atau tengah menikmati sore hari di kawasan Kalken misalnya, melihat saya mengenakan hijab, mereka menyapa ramah. Alhamdulillah.
Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca artikel di situs berita yang mengatakan bahwa gereja di Belgia kini beralih fungsi menjadi restoran, hotel, kafe, venue panjat dinding, bahkan kelab malam. Hal ini disinyalir lantaran gereja itu telah sepi jemaat.
Sebuah fenomena yang mengkhawatirkan dan menyakitkan, demikian dikatakan oleh seorang Uskup di wilayah Antwerpen, Monseignor Johan Bonny.
Sebagaimana diketahui bahwa bangunan-bangunan suci ini dahulu merupakan tempat pertemuan dan pengabdian. Namun, kini menjadi saksi bisu dari perubahan dalam keyakinan dan kehadiran umat.
Di jantung Kota Mechelen, bangunan bekas gereja rencananya akan menjadi "hot spot" budaya. Bukan hanya itu, musik yang dimainkan gaungnya dapat didengar dari tempat tinggal Uskup Agung Belgia.
Penasaran, saya pun mengunjungi gereja yang tak jauh dari tempat saya tinggal, Parochiekerk Sint-Macharius Laarne yang berada di Dorpsstraat 6,9270. Berdasarkan papan yang saya baca di luar, gereja ini telah berdiri sejak tahun 1120.
Gereja abad pertengahan akhir ini adalah gereja berbentuk salib basilika dengan menara pusat dan gang samping yang sangat sempit dengan atap mimbar.
Setelah kehancuran masif selama perang agama tahun 1583, dilakukan restorasi besar-besaran. Pada abad ke-17, gereja ini diperluas menjadi gereja aula saat ini dan awal 1990-an, gereja ini mengalami pemugaran menyeluruh.
Lanjut ke sebelah...
Meski lahir dari ratusan tahun silam, bangunan ini masih kokoh berdiri berkat dana para jemaat dan warga. Sayangnya, gereja indah nan megah ini sepi pengunjung. Ketika saya datang, seorang nenek keluar meninggalkan gereja.
Saya memberanikan diri masuk ke gereja, sesuatu hal yang tidak pernah saya lakukan selama di Indonesia. Ini menjadi kali kedua setelah kunjungan pertama saya ke Basilique Notre Dame De Montréal di Kanada.
Tiba di dalam, rasanya dingin dan merinding. Angin musim panas bahkan terasa menusuk tulang dan saya tidak menemui seorang pun. Padahal, saat itu saya berharap bertemu dengan pengurus gereja untuk bertanya beberapa hal yang tengah ramai diberitakan.
Saya kemudian mengunjungi gereja kedua yang berada di Wetteren Centrum, Sint-Gertrudis atau tepatnya di Wegyoeringstraat 21, 9230 yang berjarak 5,4km dari tempat saya tinggal. Lagi-lagi saya dapati hal yang sama, sepi dan sunyi.
Padahal, ada banyak orang tengah menikmati hari dengan nongkrong di kafe-kafe sekitaran gereja. Hanya ada seorang wanita paruh baya yang tengah berdoa di gereja yang memiliki kombinasi elemen Romawi, Gotik, dan Bizantium.
Sementara gereja ketiga lebih jauh, yakni Sint-Baafskatherdraal Gent yang berlokasi di Sint-Baafsplein 1, 9000 - tepat di tengah jantung kota Gent. Berbeda dari dua gereja yang saya kunjungi sebelumnya, Sint-Baafskatherdraal terbilang ramai.
Beberapa orang saya lihat tengah khusyu berdoa, sementara lainnya saya asumsikan sebagai wisatawan. Untuk masuk ke gereja ini tidak perlu membayar uang seper pun, namun ada dua area yang harus bayar, seperti jika kita ingin melihat 12 lukisan karya Pieter Bruegel bersaudara yang dibanderol sebesar 16 euro atau sekitar Rp267.855 Rupiah.
Sedikit mahal memang, tapi itu terbayarkan kok dengan pengalaman baru yang didapat. Sedangkan untuk memasuki area lain dikenakan biaya seharga 2 euro atau sekitar Rp33.481.
 Alih fungsi gereja di Belgia menjadi hotel. (AP Photo/Virginia Mayo) |
Saya berjalan memandangi setiap sudut gereja ini, atmosfernya masih sama, dingin. Ada begitu banyak lukisan yang tergantung di dinding dan patung-patung yang kokoh berdiri. Yang menarik tentu saja sejumlah "lilin doa" yang menyala. Artinya, masih ada orang yang mengunjungi gereja megah ini.
Saya juga mendengar sayup-sayup lagu rohani dinyanyikan oleh paduan suara Gereja. Menambah syahdu suasana gereja saat itu. Sementara di sudut lain Kota Gent, sebuah gereja beralih fungsi menjadi restoran. Ya, seperti yang ramai diberitakan.
Seorang warga lokal bernama Eve, yang saya temui di gereja Sint-Baafskatherdraal mengungkapkan bahwa di Kota Gent terdapat kurang lebih 149 gereja, tapi kini banyak yang sep jemaat. Pemerintah kota mengambil langkah untuk mengalihkan fungsi gereja. Dan seperti yang kami lihat, sejumlah gereja yang kini menjadi restoran, bahkan hotel.
Oiya, saya mengunjungi gereja-gereja itu di akhir pekan, waktu-waktu yang biasanya jemaat beribadah. Faktanya, pemberitaan di berbagai media memang benar adanya bahwa banyak gereja di Belgia yang sepi jemaat.
Beberapa gereja di negara ini tengah menghadapi krisis besar, seperti berkurangnya komitmen, memudarnya pengaruh, berkurangnya mahasiswa di berbagai seminari, banyak yang beralih keyakinan, skandal pedofilia yang menghancurkan reputasi kelompok Katolik, serta banyaknya penduduk yang enggan beragama.
Tak mengherankan jika pemerintah kota mengalihkan fungsi beberapa gereja yang terbengkalai. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Belgia, melainkan sejumlah negara di Eropa, seperti di Jerman, Belanda, Inggris, Skotlandia, hingga Swedia.