Penghentian pertamanya adalah Palau, yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan ke Australia, Selandia Baru, Samoa, dan Tonga.
Namun, perjalanan itu nyatanya tak mulus-mulus amat. Ia harus bernegosiasi dengan pemerintah masing-masing negara, utamanya Tonga. Salah satu pasalnya adalah pengetatan kedatangan turis mancanegara imbas pandemi Covid-19.
Setelah Tonga, Pedersen melanjutkan perjalanan ke Vanuatu. Kali ini, Le ikut dengannya untuk menggelar pernikahan secara langsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya adalah negara terakhir di Pasifik, Tuvalu. Sebagai rumah bagi sembilan pulau dan hanya berpenduduk 11.600 jiwa, Tuvalu adalah salah satu negara paling kecil dan terpencil di dunia.
"Ini [Tuvalu] sangat indah. Ombaknya luar biasa, langitnya indah, dan orang-orangnya sangat baik senang membantu," ujar Pedersen.
Namun, Pedersen tak berharap menetap di Tuvalu selama dua bulan. Salah satu pasalnya adalah akses transportasi yang sulit. Banyak kapal yang mogok dan sering menunda perjalanan.
Akhirnya, Pedersen kembali ke Fiji dengan kapal tunda. Dari sana, perjalanan 24 hari dengan kapal kontainer membawanya ke Singapura.
Dari sana, Pedersen melintasi perbatasan darat ke Malaysia dan naik kapal ke Sri Lanka, sebelum berlayar ke negara terakhir: Maladewa.
"Ketika saya berada di Maladewa, suasananya sangat sibuk, saya tak punya waktu untuk merenung," ujar Pedersen. Ia merasa lelah secara mental dengan emosi yang terus naik turun.
Jika dihitung, total Pedersen menghabiskan 3.576 hari, 37 kapal peti kemas, 158 kereta api, 351 bus, 219 taksi, 33 perahu, dan 43 becak.
Dia melintasi 223.000 mil atau setara dengan sembilan perjalanan mengelilingi Bumi.
Namun bagi Pedersen, perjalanannya bukan-lah perkara angka. Perjalanannya adalah tentang merayakan kebaikan orang dan berbagi pandangan positif tentang dunia.
Pedersen memulai perjalanannya dengan moto bahwa orang asing adalah teman yang belum pernah ditemui sebelumnya.
"Saya telah berkali-kali diperlihatkan bahwa ini [motonya] benar," ujar Pedersen.
Pedersen mengatakan bahwa dia banyak bertemu dengan orang-orang yang hangat, ramah, dan senang membantu di seluruh dunia. Banyak dari mereka yang menawarinya teh, makanan, perkenalan, atau sekadar memberikan arahan.
"Saya tinggal di banyak rumah orang asing selama perjalanan, dan saya berhasil melewati setiap negara di dunia tanpa cedera," ujarnya.
"Entah apakah saya orang paling beruntung di planet ini, atau justru sebenarnya dunia ini lebih baik daripada apa yang diyakini banyak orang saat ini oleh berbagai berita dan kabar menakutkan di media."
(asr)