Menjelajahi dunia untuk mencari ilmu menjadi mimpi saya sejak kecil. Datang ke negeri orang seperti Taiwan, membuat saya belajar beradaptasi dengan lingkungan baru. Bahasa, budaya, tradisi, dan kebiasaan baru selalu menarik hati saya.
Keterbatasan bahasa antara saya dan penduduk lokal menjadi pengalaman yang lucu sekaligus menarik. Tidak jarang raut bingung terlihat jelas di muka saya ketika penduduk lokal mengajak berbincang. Komunikasi itu pun berakhir dengan bahasa tubuh dan senyuman tanda pura-pura mengerti.
Kali ini saya mendapat kesempatan untuk menimba ilmu di negara yang dikenal dengan julukan Pulau Formosa itu. Lingkungan yang bersih, cuaca yang panas, dan hiruk pikuk kota menyambut saya ketika sampai di Taipei, Taiwan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ya, saya datang di waktu Taiwan sedang mengalami musim panas ekstrem. Suhu udara bisa terasa sampai 39 derajat celcius. Hampir semua pejalan kaki menggunakan payung anti UV untuk melindungi diri dari teriknya matahari.
Menjalani hari-hari di Taiwan tidak saya habiskan dengan hanya belajar di kelas dan mengerjakan tugas. Saya memanfaatkan waktu libur kelas untuk mengeksplorasi tempat-tempat bersejarah Taiwan.
Kejadian menegangkan pun terjadi pada saat saya akan pulang dari Chiang Kai Shek, tempat peringatan mantan presiden Republik Tiongkok.
Saya dan teman-teman terkejut melihat handphone tiba-tiba berdering dengan tulisan "Peringatan Presiden" yang dilengkapi dengan tanda seru segitiga kuning. Bunyi alarm pun berdengung keras seperti tanda peringatan serius.
Saya dan teman-teman panik mencoba membaca situasi yang sedang terjadi. Saya tidak paham dengan maksud dari peringatan presiden yang terus berdering di handphone, karena menggunakan bahasa Mandarin.
![]() |
Seketika Kota Taipei berubah menjadi kota mati. Tidak ada mobil, bus, atau sepeda motor yang melintas. Pejalan kaki yang sebelumnya berseliweran juga menghilang. Saya dan teman-teman semakin bingung dan mencoba merekam kejadian tersebut.