Satyawan mengungkapkan, upaya mengeluarkan THRS dari daftar Warisan Dunia dalam bahaya dilakukan dengan cara memperkuat komitmen pemerintah baik pusat dan daerah, konsistensi serta sinergitas program dan kebijakan para pihak terkait, dengan didukung oleh diplomasi internasional.
Sejumlah bentuk upaya di antaranya berupa larangan pembangunan jalan dan pertambangan, peningkatan patroli, penguatan tata kelola dan pengelolaan, dan beberapa lainnya.
Dalam laporan terbaru pemerintah dalam Desired State of Conservation for the Removal (DSOCR) yang dirilis pada 2023, menyebutkan beberapa progres positif yang dilalui Hutan Hujan Tropis Sumatera untuk keluar dari daftar bahaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Progres itu antara lain,
1. Tutupan hutan TNGL yang stabil di angka 93%, TNKS 85%-86%, dan TBBS 78-%-79%
2. Pertumbuhan populasi gajah sumatera 3% (2007-2017), badak sumatera pertumbuhan tahunan sebesar 3% pada tahun 2020, dan harimau sumatera pertumbuhan 100 persen (2011-2021)
3. Berkomitmen untuk tidak mengizinkan pembangunan jalan baru di dalam kawasan situs dan melakukan mitigasi terhadap dampak pembangunan jalan yang sudah ada.
4. Tidak adanya konsesi pertambangan atau izin eksplorasi pertambangan di wilayah situs.
5. Melakukan demarkasi batas dengan pemeliharaan batas, rekonstruksi batas, dan sosialisasi kepada masyarakat.
6. Penegakan hukum dengan peningkatan patroli strategis.
7. Melakukan pengelolaan lanskap yang lebih luas.
Selama THRS berada dalam status bahaya, pemerintah Indonesia juga mendapat dukungan pendanaan dari UNESCO dalam bentuk International Assistance dari tahun 2005 sampai 2012 dan UNESCO Extra-budgetary Funds. Hal itu dibenarkan oleh Satyawan, meski dia tidak merinci berapa besaran dana bantuan dari UNESCO.
Hingga sidang ke-45 komite berakhir 25 September lalu, Komite Warisan Dunia UNESCO memutuskan masih menempatkan Hutan Hujan Tropis Sumatera di daftar Warisan Dunia dalam bahaya.
(dhs/wiw)