Jakarta, CNN Indonesia --
Sejak 2011, salah satu situs warisan dunia UNESCO di Indonesia, Hutan Hujan Tropis Sumatera ditetapkan dalam status bahaya. Hingga kini, status tersebut masih belum lepas.
"Hutan Hujan Tropis Sumatera, kawasan seluas 2,5 juta hektare yang terdaftar dalam Daftar Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2004 untuk keanekaragaman hayatinya, telah ditempatkan dalam Daftar Bahaya untuk membantu mengatasi ancaman yang ditimbulkan oleh perburuan liar, pembalakan liar, perambahan pertanian, dan rencana untuk membangun jalan melalui situs tersebut," tulis UNESCO dalam situsnya pada Juni 2011.
"Keputusan ini diambil oleh Komite Warisan Dunia yang mengadakan sesi ke-35 di Paris, Prancis."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hutan Hujan Tropis Sumatera adalah situs seluas sekitar hampir 2,6 juta hektare yang wilayahnya membentang hingga tujuh provinsi, mencakup Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara, hingga Aceh.
Beragam destinasi alam emas Indonesia ada di sini. Ada Gunung Kerinci Seblat sebagai gunung berapi tertinggi Indonesia, Danau Gunung Tujuh sebagai danau tertinggi di Asia Tenggara, juga Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang menghadap langsung ke Samudera Hindia.
Diperkirakan ada 10.000 spesies tumbuhan, dan 580 spesies burung, dan 201 spesies mamalia hidup di sini. Ada juga 15 spesies endemik Sundaland yang hanya ada di Indonesia, hidup di hutan ini.
Namun, sejak 12 tahun lalu, hutan ini ditetapkan dalam status bahaya, beberapa ancaman tak kunjung hilang, bahkan muncul ancaman baru sejak tahun 2014. Laporan keputusan terbaru UNESCO (2021) mencatat, ada enam ancaman yang masih menghantui warisan dunia ini.
Merangkum dari situs UNESCO, berikut adalah deretan masalah yang pernah mengancam Hutan Hujan Tropis Sumatera, yang merupakan salah satu warisan dunia ini.
Ancaman Tata Kelola
Tahun 2012, setahun setelah situs ini ditetapkan sebagai bahaya, salah satu masalah yang dihadapi adalah laporan perambahan (penggunaan sumber daya hutan secara ilegal) yang juga berkaitan dengan tata kelola situs.
Kasus perambahan yang pada saat itu disorot adalah kasus dibakarnya 1.000 ha lahan gambut di kawasan hutan lindung Rawa Gambut Tripa, Aceh, oleh PT Kallista Alam.
Kasus ini mendapat peringatan dari UNESCO untuk dilakukan tindakan hukum sebagai bentuk upaya tata kelola kawasan lindung di sana.
Saat ini, Indonesia sebagai negara pihak yang sedang melakukan penyusunan terhadap rencana pengelolaan baru TNKS (2020-2029).
2. Ancaman Proyek Infrastruktur Transportasi Darat
UNESCO menilai, tingginya permintaan proyek pembangunan jalan bisa menjadi ancaman, meskipun ada upaya positif dari negara pihak dan LSM.
Contoh peristiwa yang pernah menjadi ancaman utama adalah siaran pers DPR RI (17 Februari 2014) yang menyatakan dorongan agar pembangunan jalan di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat tetap memungkikan dengan menurunkan tingkatannya dari Taman Nasional menjadi hutan lindung.
Hingga keputusan komite pada 2021 lalu, UNESCO menekankan agar usulan pembangunan jalan di sekitar situs tidak diputuskan sebelum melalui proses AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang ditinjau International Union for Conservation of Nature (IUCN).
3. Ancaman Aktivitas Ilegal
Pada tahun pertama Hutan Hujan Tropis Sumatera ditetapkan dalam status bahaya, terdapat laporan yang diterima IUCN tentang beberapa spesies yang mengalami penurunan beberapa jenis spesies.
Dilaporkan pula perburuan terhadap harimau dan gajah, bahkan perdagangan liar sebanyak 1.000 burung per bulan dari Kabupaten Kerinci. Laporan ini juga mencatat tidak adanya pemantauan formal terhadap gajah sumatera pada saat itu.
Beragam aktivitas ilegal lainnya juga menjadi ancaman di situs ini. Contoh kasus pada 2017, laporan pemerintah kepada UNESCO menyatakan adanya peningkatan aktivitas perburuan liar, perambahan, pembalakan liar, panen hasil hutan non-kayu secara tidak lestari, penangkapan ikan, hingga pertambangan ilegal selama 2013-2016.
Pada 2021, UNESCO juga mengkhawatirkan jika proyek pembelahan jalan yang akan dilakukan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) bisa memecah populasi satwa dan memfasilitasi akses terhadap aktivitas ilegal.
4. Ancaman Konversi Lahan
Dalam misinya tahun 2018, IUCN mengidentifikasi perambahan sebagai hal serius yang mengancam situs Hutan Hujan Tropis Sumatera dalam jangka panjang. Laporan dari pemerintah Indonesia sebagai negara pihak juga dinilai menjadi bukti bahwa perambahan adalah pendorong utama deforestasi.
Analisis oleh Komite warisan dunia dan IUCN tahun 2019 mengungkapkan, kegiatan perambahan yang terjadi disana biasanya terkait dengan penebangan, pengembangan perkebunan, atau pertambangan.
5. Ancaman Sistem Manajemen/Rencana Manajemen
Dengan adanya berbagai aktivitas ilegal, misi pemantauan reaktif dilakukan pada 2013 yang melaporkan bahwa patroli di properti dikelola menggunakan Alat Pemantauan dan Pelaporan Spasial (SMART).
Namun hingga 2016, rincian data pemantauan dinilai UNESCO masih kurang. UNESCO menilai, kurangnya data jumlah kasus membuatnya tidak memungkinkan melakukan penilaian terhadap tingkat keparahan permasalahan di sana.
Dalam dokumen keputusan UNESCO 2021, komite warisan dunia memberi kritik terkait data orangutan sumatera yang terancam punah di kawasan pembaruan jalan Namu-Karo di wilayah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Data tersebut tercatat dalam data SMART tetapi tidak dicantumkan dalam Dokumen Evaluasi Lingkungan yang dikembangkan untuk pembaruan jalan Namu-Karo.
6. Ancaman Proyek Pertambangan
Isu pertambangan di wilayah situs warisan dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera sudah ada sebelum situs ini ditetapkan sebagai warisan dunia, yaitu dengan adanya tambang emas ilegal tradisional berskala kecil di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Salah satu rencana pertambangan yang pernah mengancam adalah kasus tumpang tindih wilayah pertambangan PT. Arustirta dan PT. Aspirasi Widya Chandra (masing-masing 1.773 ha dan 161 ha) dengan Taman Nasional Gunung Leuser (2013). Kasus ini terjadi karena tidak adanya kejelasan perbatasan wilayah TNGL.
Selain itu, terdapat isu izin tambang oleh pemerintah Jambi di daerah hutan lindung dan konservasi yang mencuat.
Salah satu yang dicatat UNESCO adalah kasus PT Aneka Tambang yang mengeksplorasi penambangan emas di dalam batas TNKS, lagi-lagi karena ketidakjelasan batas dalam peta TNKS.
Pertambangan ini sudah dihapuskan sejak 2015 dari daftar ancaman. Saat itu, Indonesia sebagai negara pihak berkomitmen agar tidak ada konsesi pertambangan atau izin eksplorasi pertambangan di dalam wilayah situs, serta mulai melakukan penutupan dan rehabilitasi terhadap tambang skala kecil di sana.
7. Ancaman pembangunan fasilitas energi panas bumi
Pada 2013, pemerintah mempertimbangkan untuk melakukan mengembangkan energi panas bumi di wilayah Hutan Hujan Tropis Sumatera untuk mengatasi krisis energi nasional. Menanggapi ini, UNESCO mendesak agar pemerintah melakukan AMDAL terhadap rencana tersebut sebelum dilakukan keputusan apa pun.
Desakan UNESCO tetap dilakukan. Hingga tahun 2015, UNESCO mendapat jaminan bahwa tidak ada energi panas bumi yang akan dikembangkan di dalam area situs, tetapi tepat di sebelah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
2017, UNESCO memasukkan rencana pengembangan energi panas bumi ini sebagai ancaman bahaya baru yang dihadapi Hutan Hujan Tropis Sumatera. Pada tahun tersebut, UNESCO mendapat informasi bahwa pemrakarsa proyek panas bumi di TNGL menugaskan sebuah studi ke Universitas Gadjah Mada.
Studi tersebut menyimpulkan bahwa sebagian zona inti taman nasional dapat diubah menjadi 'zona pemanfaatan' agar secara hukum memungkinkan dilanjutkannya pengembangan proyek panas bumi di sana.
Pengembangan energi panas bumi di wilayah ini dianggap bisa berdampak negatif bagi habitat spesies utama di sana, yaitu Harimau Sumatera, Badak Sumatera, Gajah Sumatera dan Orangutan Sumatera.
Setelah mengetahui tujuh ancaman tersebut, lalu bagaimana langkah pengelola Hutan Hujan Tropis Sumatera menghadapinya? Pada Oktober 2013, disepakati misi upaya konservasi DSOCR (Desired State of Conservation for removal) bersama IUCN.
Upaya tersebut memiliki tujuh indikator, di antaranya 1) Tutupan Hutan; 2) Data tren populasi spesies fauna kunci; 3) Pembangunan Jalan; 4) Pertambangan; 5) Penetapan Batas; 6) Penegakan Hukum; 7) Pengelolaan Lanskap yang Lebih Luas.
Pada 2014, komite mengharapkan agar Indonesia sebagai negara pihak bisa mencapai indikator tersebut dalam waktu 5-10 tahun. Hampir 10 tahun sejak pertimbangan tersebut dikeluarkan oleh komite, Hutan Hujan Tropis Sumatera tak kunjung keluar dari daftar bahaya.
Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia UNESCO di Arab Saudi pada 10-25 September lalu memutuskan tetap menempatkan Hutan Hujan Tropis Sumatera di dalam daftar warisan dunia terancam bahaya.