Pada tahun pertama Hutan Hujan Tropis Sumatera ditetapkan dalam status bahaya, terdapat laporan yang diterima IUCN tentang beberapa spesies yang mengalami penurunan beberapa jenis spesies.
Dilaporkan pula perburuan terhadap harimau dan gajah, bahkan perdagangan liar sebanyak 1.000 burung per bulan dari Kabupaten Kerinci. Laporan ini juga mencatat tidak adanya pemantauan formal terhadap gajah sumatera pada saat itu.
Beragam aktivitas ilegal lainnya juga menjadi ancaman di situs ini. Contoh kasus pada 2017, laporan pemerintah kepada UNESCO menyatakan adanya peningkatan aktivitas perburuan liar, perambahan, pembalakan liar, panen hasil hutan non-kayu secara tidak lestari, penangkapan ikan, hingga pertambangan ilegal selama 2013-2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2021, UNESCO juga mengkhawatirkan jika proyek pembelahan jalan yang akan dilakukan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) bisa memecah populasi satwa dan memfasilitasi akses terhadap aktivitas ilegal.
Dalam misinya tahun 2018, IUCN mengidentifikasi perambahan sebagai hal serius yang mengancam situs Hutan Hujan Tropis Sumatera dalam jangka panjang. Laporan dari pemerintah Indonesia sebagai negara pihak juga dinilai menjadi bukti bahwa perambahan adalah pendorong utama deforestasi.
Analisis oleh Komite warisan dunia dan IUCN tahun 2019 mengungkapkan, kegiatan perambahan yang terjadi disana biasanya terkait dengan penebangan, pengembangan perkebunan, atau pertambangan.
Dengan adanya berbagai aktivitas ilegal, misi pemantauan reaktif dilakukan pada 2013 yang melaporkan bahwa patroli di properti dikelola menggunakan Alat Pemantauan dan Pelaporan Spasial (SMART).
Namun hingga 2016, rincian data pemantauan dinilai UNESCO masih kurang. UNESCO menilai, kurangnya data jumlah kasus membuatnya tidak memungkinkan melakukan penilaian terhadap tingkat keparahan permasalahan di sana.
Dalam dokumen keputusan UNESCO 2021, komite warisan dunia memberi kritik terkait data orangutan sumatera yang terancam punah di kawasan pembaruan jalan Namu-Karo di wilayah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Data tersebut tercatat dalam data SMART tetapi tidak dicantumkan dalam Dokumen Evaluasi Lingkungan yang dikembangkan untuk pembaruan jalan Namu-Karo.
Isu pertambangan di wilayah situs warisan dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera sudah ada sebelum situs ini ditetapkan sebagai warisan dunia, yaitu dengan adanya tambang emas ilegal tradisional berskala kecil di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Salah satu rencana pertambangan yang pernah mengancam adalah kasus tumpang tindih wilayah pertambangan PT. Arustirta dan PT. Aspirasi Widya Chandra (masing-masing 1.773 ha dan 161 ha) dengan Taman Nasional Gunung Leuser (2013). Kasus ini terjadi karena tidak adanya kejelasan perbatasan wilayah TNGL.
Selain itu, terdapat isu izin tambang oleh pemerintah Jambi di daerah hutan lindung dan konservasi yang mencuat.
Salah satu yang dicatat UNESCO adalah kasus PT Aneka Tambang yang mengeksplorasi penambangan emas di dalam batas TNKS, lagi-lagi karena ketidakjelasan batas dalam peta TNKS.
Pertambangan ini sudah dihapuskan sejak 2015 dari daftar ancaman. Saat itu, Indonesia sebagai negara pihak berkomitmen agar tidak ada konsesi pertambangan atau izin eksplorasi pertambangan di dalam wilayah situs, serta mulai melakukan penutupan dan rehabilitasi terhadap tambang skala kecil di sana.