Gejala awalnya mungkin tidak langsung terasa. Anak tetap mendapat nilai bagus, tugas selesai cepat, dan guru pun senang. Tapi di balik semua itu, ada krisis yang sedang bertumbuh, yakni hilangnya motivasi belajar.
"Bukan karena mereka tak mampu, tapi karena mengalami cognitive outsourcing habit. Mereka terbiasa mencari jawaban lewat AI, bukan lewat eksplorasi atau diskusi," kata Arnold.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, beberapa anak mulai mempertanyakan esensi dari belajar itu sendiri. Banyak dari mereka mulai berpikir: 'Kenapa harus repot mikir? AI juga bisa kasih semua jawaban'.
Ketika hal ini terus terjadi, tumbuhlah instrumental mindset, yakni pola pikir yang hanya mementingkan hasil. Selama nilai ujian, tugas selesai, ranking bagus, mereka tak lagi peduli meski tanpa ada proses yang bisa dinikmati.
"Jika terus dibiarkan, anak kehilangan makna akademik dan semangat untuk mastery, yakni rasa puas saat memahami sesuatu karena usahanya sendiri," kata Arnold.
Lalu, apa yang bisa dilakukan orang tua dan pendidik?
Arnold menyarankan untuk tidak melarang anak memakai AI, tapi membimbing penggunaannya secara reflektif.
![]() |
"Ajari anak bukan cuma bertanya, tapi bertanya ulang: Bagaimana AI tahu jawabannya? Apakah masuk akal? Bagaimana kalau salah?" katanya.
Pertanyaan semacam di atas akan melatih metakognisi, kemampuan berpikir tentang proses berpikir itu sendiri, salah satu fondasi penting dalam kecerdasan anak.
Selain itu sistem pendidikan juga harus berubah. Bukan sekadar menambah teknologi, tapi memastikan ruang diskusi, eksplorasi, dan berpikir kritis tetap hadir di ruang kelas.
"Anak perlu diajak belajar menyusun argumen sendiri, mengevaluasi informasi, dan kadang, menerima bahwa tak semua pertanyaan ada jawabannya dalam lima detik," ujarnya.
Lihat Juga :![]() Hari Anak Nasional AI dan Anak-anak, Pelarian Emosional Tapi Lukai Hubungan Sosial |
Kata Arnold, teknologi memang selalu datang dengan dua sisi. Memberi kemudahan, tapi juga menantang kemampuan dasar manusia.
AI, dengan segala kecerdasannya, tak bisa menggantikan rasa ingin tahu, daya juang, dan proses belajar yang membentuk karakter.
Jika kita membiarkan anak-anak tumbuh dengan kebiasaan 'tanya AI lalu selesai', maka kita bukan sedang mencetak generasi pintar, melainkan generasi yang kehilangan rasa penasaran.
"Dan jika rasa penasaran hilang, bukankah itu berarti kita sedang kehilangan salah satu esensi menjadi manusia?," tutup Arnold.
(asr/asr)