Jakarta, CNN Indonesia -- Para gadis dalam balutan baju adat Betawi itu membawakan tarian Betawi sambil bernyanyi di atas panggung. Tak berapa lama, masuk enam perempuan berpakaian artistik, mereka menari bagaikan ombak.
Di atas kepala mereka ada sebuah karya menyerupai bagan tempat memancing ikan. Mereka merepresentasikan budaya Kalimantan Selatan.
Di kala keenam perempuan ini bernyanyi dan menari, dua gadis berpakaian adat Sumatera Barat menarikan tari piring. Penari hip hop kemudian muncul dan menari bersama. Di kedua sisi panggung, pemain musik tradisional seperti rebab dan gamelan fokus mengiringi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu pertunjukan kolaborasi budaya Indonesia usai, saatnya seniman Korea Selatan unjuk gigi. Mereka adalah Tim Chaplin yang membawakan pertunjukan nonverbal bertajuk The Painters: Hero. Personelnya yaitu Kwang Min So, Shin Koo Kang, Bo Ram Hong, dan Woo Ram Kwon.
Tanpa kata-kata, mereka menyapa penonton dengan gestur serta mimik yang jenaka. Pakaian mereka serba hitam, berupa rompi dan celana panjang hitam yang tampak terciprat cat air, lengkap dengan topi khas Chaplin.
Dengan unsur komedi dan tarian modern, mereka melukis di atas panggung. Dengan kanvasnya masing-masing, keempat seniman itu mulai melukis sambil menari.
Sesekali, mereka bertukar tempat, melanjutkan lukisan kawannya. Tak jarang, mereka membalikkan badan untuk menghadap penonton dan menghibur dengan gestur dan mimik layaknya komedian.
Tak sampai lima menit, lukisan masing-masing personel selesai. Beberapa penonton masih menebak-nebak apa maksud dari lukisan tersebut. Keempat lukisan kemudian mereka gabungkan menjadi satu kesatuan yang menampilkan wajah penyanyi Psy, lengkap dengan tulisan ‘Gangnam Style’.
Mereka juga menampilkan teknik melukis lainnya, yaitu melukis dengan pasir, melukis cepat, melukis dengan cahaya, melukis dengan air, serta adu lukis. Budaya Indonesia dan Korsel mereka tonjolkan.
Misalnya, ketika Woo Ram Kwon melukis Garuda, Kwang Min So melukis harimau yang merupakan salah satu simbol negara itu. Tugu Monumen Nasional serta Ondel-ondel juga dilukis dalam pertunjukan ini.
Pertunjukan ini kemudian ditutup dengan sebuah papan putih yang bertuliskan ‘Kita Bersahabat’ dengan gambar bendera Korsel dan bendera Indonesia. Seperti itulah, acara pembukaan Korea-Indonesia Festival 2014 yang diselenggarakan di Balai Kartini, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (3/10).
Sementara, festival ini akan diselenggarakan selama bulan Oktober di Lotte Shopping Avenue, Jakarta.
Tampak perwakilan Korsel dan Indonesia hadir dalam acara ini, yaitu Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Cho Tai Young serta Direktur Pengembangan Seni Pertunjukan dan Industri Musik Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Juju Masunah.
Sebelumnya, pada pembukaan di Lotte, hadir pula Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal.
Kolaborasi sebagai kunci harmoniBudaya Indonesia yang ditampilkan dalam acara ini merupakan pemenang dari Kontes Seni Indonesia 2014 yang diadakan Kemenparekraf. Tiga pemenang berasal dari Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan DKI Jakarta.
Seniman Eko Supriyanto kemudian ditunjuk sebagai sutradara dalam kolaborasi tiga budaya ini.
"Mengkolaborasikan tiga budaya dari tiga daerah merupakan permasalahan yang sangat sensitif karena seniman punya idealismenya masing-masing," ujar Eko saat dihubungi CNN Indonesia melalui telepon, Minggu (5/10).
Namun, Eko bersyukur karena para peserta dapat mempercayakan kolaborasi ini padanya. Adapun, latihan memakan waktu 18 jam.
Dalam pentas ini, Eko ingin menampilkan bahwa tradisi asli Indonesia bisa berkolaborasi dengan budaya lain. "Misalnya, hubungan antara Indonesia dan Korsel," kata Eko yang saat ini tengah menyelesaikan studi S3 di Universitas Gadjah Mada ini.
"Masing-masing negara punya tradisinya masing-masing, tetapi bagaimana kemudian kedua negara bisa membuka diri dan berkolaborasi."
Berbeda halnya dengan Indonesia yang menonjolkan budaya tradisional, Korsel memilih menghadirkan pertunjukan non-verbal yang sangat modern. Di Korsel,
The Painters: Hero dipertunjukkan di teater Seoul dan Jeju dengan harga tiket dari KRW 40-80 ribu atau sekitar Rp 450 ribu - 900 ribu.
Perpaduan antara seni melukis dengan komedi menjadi daya tarik yang ingin ditonjolkan. Dimulai dengan pertunjukan perdana pada 2010, The Painters: Hero kini telah melakukan pertunjukan di Tokyo, Singapura, Hong Kong, Shanghai, Beijing, dan Bangkok.
Namun, mereka ternyata tidak punya latar belakang sebagai pelukis profesional, melainkan aktor.
"Meski begitu, saya pikir semuanya punya bakat gambar sehingga lebih cepat belajar saat bergabung dengan The Painters," ujar Kwang Min So dalam Bahasa Korea saat diwawancara CNN Indonesia seusai pentas.
"Sebelum melukis, kami mengadakan riset untuk mencari tema serta tujuan. Setelah mendapatkan tema, kami lalu latihan melukis selama satu bulan," kata Bo Ram Hong. Mereka juga bercerita budaya Indonesia dan Korsel memiliki beberapa kesamaan.
Dengan kesamaan itulah, mereka lebih mudah mempelajari budaya Indonesia yang diperlukan untuk pentas seperti ini. "Di Korsel ada karakter yang mirip Ondel-Odel, namanya Dol Hareubang," ujar Bo Ham Rong. Adapun, Dol Hareubang berarti kakek tua dan merupakan simbol dari Pulau Jeju.
Seni jadi jembatan dua negaraSeni dianggap penting sebagai jembatan antara dua negara, terutama dalam hubungan antara Indonesia dan Korsel.
"Korsel dan Indonesia harus meningkatkan pengetahuan antara kedua bangsa. Semoga Korea Indonesia Festival dapat menjembatani persahabatan antara Korsel dan Indonesia," kata Cho Tai Young saat pembukaan Korea Indonesia Festival 2014 di Lotte Shopping Avenue, Jakarta, Jumat (3/10).
Senada dengan Cho Tai Young, Juju Masunah mengatakan kerjasama antara Indonesia dan Korsel sudah terjalin lama. "Selama dua tahun terakhir, kami mengadakan berbagai kolaborasi dengan Korsel dalam hal seni pertunjukan," katanya.
Sementara itu, seniman Eko Supriyanto mengatakan budaya dan seni merupakan jembatan yang sangat efektif dalam menghubungkan dua negara.
"Dengan budaya, kita bermain dengan perasaan dan visual. Dari budaya pula terbuka dialog yang berhubungan dengan substansi kultural," kata seniman yang pernah menari untuk Madonna ini.
Ia menambahkan, "Saya yakin kerjasama dalam bidang budaya dan seni lebih efektif daripada kerjasama resmi bilateral yang hanya merujuk pada satu sektor. Sementara, budaya bisa merambah sektor lainnya, seperti pariwisata dan kuliner."
Menurut Eko, seni sebaiknya dibungkus menjadi pesan yang universal agar dapat merambah lebih banyak kalangan.
"Misalnya, tari piring dari Sumbar. Mungkin bisa mulai dengan visualisasi piring, di mana lebih universal," kata Eko. Setelah menarik minat masyarakat, barulah mereka diajak untuk mengetahui lebih dalam tradisi asli dari tari piring tersebut.
Eko juga mengatakan budaya Indonesia sangat diterima di Korsel. "Ada mahasiswa saya di Korsel memperkenalkan budaya Indonesia. Ternyata banyak anak muda di Korsel yang antusias dan tertarik dengan budaya Indonesia," kata lulusan ISI Surakarta ini.
Ia juga mengapresiasi usaha Kemenparekraf tetapi turut memberikan kritik bagi pemerintah. Menurutnya, pemerintah seharusnya bisa lebih memfasilitasi tim-tim kesenian untuk dapat berdialog.
"Thailand sudah punya divisi kementerian seni kontemporer, sementara Indonesia belum ada. Harus ada lembaga yang betul-betul fokus memfasilitasi kesenian," kata Eko kemudian mengakhiri pembicaraan.