Jakarta, CNN Indonesia -- Ledakan pertempuran di Desa Lengkong (sekarang Tangerang) tahun 1946 memang tak ditulis dengan tinta tebal dalam sejarah. Peristiwa Lengkong, demikian ia disebut, memang tak sepopuler Pertempuran Ambarawa. Namun, peristiwa itu menorehkan luka di keluarga Djojohadikusumo. Soebianto, adik ekonom besar Sumitro Djojohadikusumo, tewas dalam baku tembak dengan Jepang.
Peristiwa itu sampai ke telinga produser asal Amerika, Conor Allyn dan Gary Hayes. Terinspirasi Soebianto yang tewas membela Indonesia, dua produser itu ingin membuat film perjuangan tentara di masa-masa kemerdekaan. Menggandeng sutradara Yadi Sugandi, Conor dan Gary bermimpi menggarap
Band of Brothers ala Indonesia. Kisahnya berlatar Agresi Militer Belanda.
"Awalnya mau dibuat serial televisi, tapi akhirnya dibuat
Trilogi Merdeka," kata Rahayu Saraswati, cucu Soebianto yang akhirnya ikut bermain dan memproduseri film itu.
Trilogi Merdeka yang disebutnya, terdiri atas
Merah Putih, Darah Garuda, dan
Hati Merdeka. Masing-masing tayang di Hari Kemerdekaan RI tahun 2009, 2010, dan 2011.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dihubungi CNN Indonesia, Rabu (15/10) Saras menjelaskan, perubahan format film punya alasan tersendiri. "Efeknya kan beda ya. Film bisa dibawa keluar, untuk membuktikan sinematografi Indonesia punya hasrat dan kemampuan yang sama seperti negara lain. Sekaligus mengenalkan sejarah bangsa," katanya. Apalagi, tujuan film itu juga untuk membangkitkan kembali nasionalisme dan patriotisme generasi muda yang kian memudar.
Awal membuat film perjuangan berbasis sejarah, ujar Saras, memang butuh tenaga ekstra. Pertama, untuk melawan rendah diri akibat cemoohan banyak orang. Sebab, kala itu film perjuangan bisa dibilang melawan arus. Trennya, layar lebar tengah menampilkan setan horor dan percintaan remaja. Saras ingat betul, tak satupun produser mendukung
Trilogi Merdeka.
"Semua bilang, enggak akan ada yang nonton, film ini enggak bakal sukses," tuturnya mengenang. Ternyata, lanjut anak pengusaha Hashim Djojohadikusumo itu, efek
Trilogi Merdeka sangat besar di perfilman Indonesia. Setelah tentara-tentara yang diperankan Darius Sinathrya, Donny Alamsyah, Zumi Zola, Lukman Sardi, dan Teuku Rifnu Wikana itu beraksi, semakin banyak film bertema sejarah dan nasionalisme bermunculan.
"Kami semua memang satu keyakinan, bahwa kami bukan membuat film, melainkan sebuah gerakan yang memengaruhi. Kami ingin menebarkan semangat baru pada anak-anak muda," ujar Saras menegaskan.
Tak untungTrilogi Merdeka dibuat dengan tak main-main. Bukan hanya produsernya yang berasal dari Amerika, tetapi juga beberapa kru film. Itu seperti kumpulan tim ahli. Ada Adam Howarth yang membuat efek spesial di
Saving Private Ryan dan
Blackhawk Down, Rocky McDonald yang mengoordinasi pemeran pengganti di
Mission: Impossible II dan
The Quiet American, Rob Trenton yang menata riasan Joker di
The Dark Knight, serta John Bowring yang mengurus perlengkapan di
Crocodile Dundee II, The Matrix, The Thin Red Line, Australia, dan
X-Men Origins: Wolverine.Secara keseluruhan,
Trilogi Merdeka masing-masing menghabiskan Rp 20 miliar. "Kita bayar pemain ekstra berapa, properti, efek spesial, apalagi ada talent dan kru yang dari luar. Di film ketiga, kita harus membangun desa sendiri. Belum transport ke lokasi. Kita juga banyak pakai tank, truk, dan perahu," tutur Saras menyebutkan alokasi-alokasi penting di filmnya.
Ironisnya, meski film itu bisa dibilang pionir dan sumber inspirasi beberapa film nasionalisme dan sejarah sesudahnya, ia tak untung. Bahkan hingga saat ini, ditegaskan Saras, pihaknya belum menerima keuntungan. Padahal, filmnya masih diputar di layar kaca setiap menjelang 17 Agustus. Saras mengakui, itu termasuk kesulitan memfilmkan sejarah dan perjuangan bangsa.
"Saat itu, belum banyak yang mau investasi. Kita sampai gedor-gedor pintu untuk mencari yang tertarik dengan film itu. Menjual film ke televisi pun waktu itu bayarannya masih sedikit," katanya menjelaskan.
Beruntung, ia sudah paham betul konsekuensi itu. Sejak pertama memutuskan membuat
Trilogi Merdeka, Saras sudah mengira filmnya tidak akan komersial. Aktris yang pernah belajar akting di Hollywood itu menegaskan, prinsipnya film dibuat untuk membangkitkan nasionalisme dan mengingatkan akan sejarah. Jika memang tidak menguntungkan, tidak masalah.
Tak kapokMeski filmnya tidak menambah pundi-pundi keuntungan, Saras mengaku tidak jera membuat film serupa. Hanya saja, yang menjadi kendala tinggal soal investor yang berani mengeluarkan uang untuk membuat film perjuangan. "Kalau ada yang mau kasih Rp 20 miliar sih saya pasti mau ya, mau banget," ujar Saras antusias.
Diakui perempuan kelahiran 27 Januari 1986 itu, banyak pihak yang ingin dibuatkan lanjutan
Trilogi Merdeka. Kalau bisa, suara-suara itu meminta, ada
Merah Putih 4. Namun, Saras masih enggan. Kalaupun ia mendapat investor dan bisa membuat film perjuangan lagi, bukan perkara perjuangan kemerdekaan yang akan dibawanya ke layar lebar.
"Saya ingin melihat sejarah yang lebih jauh lagi, ingin memunculkan pahlawan-pahlawan yang jarang sekali diungkap. Misalnya, tentang Keumalahayati, laksamana perempuan pertama di Indonesia," ujarnya. Diketahui, Keumalahayati adalah putri Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya merupakan putra dari Sultan Salahuddin Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam.
Keumalahayati kondang karena keberaniannya memimpin ribuan pasukan janda yang ditinggal tewas suaminya di medan perang. Keumalahayati, belakangan disebut Laksamana Hayati, berperang melawan kapal dan benteng Belanda pada 11 September 1599. Dalam pertempuran itu, ia juga membunuh Cornelis de Houtman, penjelajah Belanda yang menemukan jalur pelayaran ke Indonesia.