EROTIKA DALAM NOVEL

Di Novel Sastra, Erotika Diramu Jadi Estetika

CNN Indonesia
Selasa, 23 Des 2014 14:33 WIB
Kalimat vulgar banyak ditemui di novel sastra kita. Tapi anggapan bahwa semakin vulgar semakin sastra, keliru. Vulgar dalam sastra harus punya makna.
Ilustrasi menulis (Picjumbo/Viktor Hanacek)
Jakarta, CNN Indonesia -- Erotika yang merasuki novel-novel Indonesia lebih banyak ditemui di dunia sastra. Kalimat vulgar sering ditemui dalam karya penulis seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, atau Fira Basuki. Seksualitas bukan lagi hal tabu.

SAIA, salah satu novel Djenar misalnya, sudah memuat kata "sperma" di halaman pertama. Ia juga pernah menuliskan cuplikan persetubuhan yang diambil dari cerita Ranjang.

"Perempuan itu tersenyum dan menjawab pernyataan tadi dengan kecupan di kedua mata, meluncur perlahan ke hidung, terus meluncur melewati bibir hingga leher, terus dan terus menyeret kepalanya hingga sampai di selangkang yang mulai mendidih. Membuatnya merintih. Membuat tiap inci tubuhnya memohon lebih dan lebih," tulis Djenar, beberapa tahun lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hetih Rusli, editor fiksi Gramedia Pustaka Utama mengakui, novel sastra Indonesia memang terkadang erotis. Tapi, itu sudah melalui perumusan di tahap redaksi. Kalimat vulgar yang ditulis tidak semata-mata mengundang berahi.

Intinya, kata Hetih, harus punya tujuan. "Lebih dibicarakan, didiskusikan, tujuannya apa. Semua bisa menulis dengan bahasa atau kata yang cabul. Tapi bagaimana membuat kata itu menjadi punya arti dan nilai sastra yang indah, punya makna," tutur Hetih pada CNN Indonesia.

Ia mencontohkan cerita pertama di novel SAIA tulisan Djenar. Karya yang dipenuhi kalimat sperma itu tidak asal dilepas tanpa konteks cerita yang sastra. "Bagaimana 'crot' itu punya makna. Karena sastra itu bukan cerita semata, tapi juga punya kebahasaan," lanjut Hetih.

Hetih menolak keras-keras anggapan bahwa novel sastra harus mengandung unsur erotika. "Semakin vulgar semakin sastra, itu salah kaprah," ujarnya tegas. Vulgar di novel sastra harus diramu sedemikian sehingga menjadi estetis.

Ia juga memberikan label khusus bagi novel-novel sastra yang memang kental dengan erotika. Novel SAIA diberi tulisan "Untuk Pembaca Dewasa". Karya Eka Kurniawan, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas juga diberi label khusus "Di Atas 21 Tahun".

Simbol kebebasan

Melihat sastra yang vulgar, dijelaskan Hetih, harus secara menyeluruh. Biasanya itu berkaitan erat dengan konteks sejarah atau fenomena kekinian yang ingin dipotretnya. Dalam novel Saman dan Larung karya Ayu Utami yang terbit sekitar tahun 1998, kata vulgar bisa dipahami sebagai wujud representasi kebebasan.

"Tahun itu represi Orde Baru. Boro-boro ucapkan ini itu, semua kata diperhalus. Dalam tekanan seperti itu, menuliskan payudara dan seks bisa menimbulkan perasaan bebas," ujar Hetih.

Berani menulis kata-kata vulgar di novel, seolah dijadikan simbol pemberontakan. Namun, tidak semua penulis mengartikannya demikian.

"Linda Christanty menulis dengan cara berbeda. Dia menulis Aceh, represi, tentara yang menginjak rakyat. Semua generasi punya represinya sendiri," ucap Hetih. Yang jelas, tujuannya menceritakan dan memotret sejarah.

Awal-awal, pasti pembaca merasa syok. "Mungkin karena bertahun-tahun enggak pernah baca. Saman 10 tahun lalu bikin syok, tapi sekarang biasa saja. Fifty Shades of Grey pun bikin orang Amerika kaget. Tapi malah jadi laku," imbuhnya.

Bukan tidak mungkin, Indonesia pun akan mengalami masa-masa itu.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER