Jakarta, CNN Indonesia -- Membuat kisah fiksi dari sebuah sejarah adalah perkara pelik. Di satu sisi, masa lalu sangat kaya akan materi penulisan yang luar biasa sebagai pijakan untuk menggambarkan dunia imajinasi. Di sisi lain menulis berdasarkan sejarah tidak bisa seliar berdasarkan imajinasi. Penulis harus menghargai sejarah dan kebenarannya, terutama yang mereka tulis adalah seseorang yang nyata dari kurun waktu yang tak begitu lama.
Inilah yang terjadi pada buku
X: A Novel, sebuah buku yang bercerita dengan cara yang renyah tentang masa muda sang aktivis hak azasi manusia yang punya nama asli El-Hajj Malik El-Shabazz. Kisah Malcolm muda ini ditulis oleh putrinya sendiri Ilyasah Shabazz bersama Kekla Magoon.
“Teman-temanku mengatakan masalah akan datang. Saya segera bergegas dari restoran dan menyusuri trotoar, pistol di sakuku. Tanganku juga disana, menjaga senjata itu siap jika dibutuhkan. Saya berusaha melangkah lebih cepat sekarang. Kepalaku tetap tertunduk dan berharap tak seorangpun mengenalku,” tulis Ilyasah tentang ayahnya seperti dikutip
Huffington Post. Kalimat pertama novel tersebut, langsung menunjukkan petualangan Malcolm di masa muda. Ilayah memulai kisahnya dengan latar belakang daerah Harlem di tahun 1945, ketika Malcolm mulai menghadapi masalah besar. Di halaman berikutnya, pembaca akan diajak untuk mengikuti masalah demi masalah yang semakin berat yang menimpa Malcolm.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ilayah menggambarkan Malcolm yang cerdas tapi saat itu masih merasakan ketakutan akan arah hidup yang diambilnya saat masih muda. Lalu pembaca diajak kembali untuk melihat kehidupan di tahun 1940, tepatnya di daerah Lansing, Michigan ketika Malcolm muda mulai menata cita-citanya di masa depan.
Novel ini dinilai cukup baik bercerita maju dan mundur, dan mengisi setiap elemen dari sejarah Malcolm muda. Tak hanya soal aktivitas Malcolm tapi juga saat Malcolm kehilangan ayahnya dengan tragis, kesedihan ibunya dan kekompakannya dengan saudara-saudaranya yang saling mendukung.
Dikisahkan setelah melewati masa kanak-kanak dalam kemiskinan, Malcolm meninggalkan kota, untuk bertualang di tempat-tempat yang menyenangkan dan juga gelap, terlibat dengan para gadis dan obat-obatan. Lingkungan yang sangat berbeda dengan masa kecilnya. Ilyasah menggambarkan semua tempat yang pernah disinggahi Malcolm dengan menarik, mulai dari Boston sampai ke New York.
Juga menggabungkan antara kisah cinta dalam keluarga dan perjuangan Malcolm dalam hidupnya. Memang tampaknya Ilyasah dan Kekla punya tantangan Dallas mempergunakan bahasa yang dipakai saat itu. Namun secara keseluruhan novel historis ini berhasil menyajikan kisah hidup seseorang sesuai dengan masa dan tempat aslinya.