Jakarta, CNN Indonesia -- “Turuuun, turuuun!” seru para penonton yang memadati teater terbuka Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Kala itu, era 1980-an, musisi Ireng Maulana dan penyanyi Ermy Kullit bersiap tampil. Namun cemoohan penonton membuat nyali mereka ciut.
“Dangdut sajaaa!” seruan para penonton makin lantang. Tak patah semangat, Ireng dan Ermy pun menyuguhkan bosanova, latin jazz. Para penonton sedikit kalem, sekalipun tanggapannya tetap dingin. Namun setidaknya mereka tidak mencemooh lagi.
Begitulah pengalaman pahit yang dirasakan musisi dan penyanyi jazz era awal, sebagaimana dipaparkan penulis Deded R. Moerad dalam bukunya, Jazz Indonesia. Saking minim penggemar, musisi jazz lebih sering ditanggap di pesta pernikahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jazz Malu-malu KucingPada era 1980-an, rekaman berlabel jazz terbilang jarang, karena terlibas rekaman pop yang lebih komersil. Beberapa tahun kemudian, jazz mulai bergeliat. Tidak sedikit musisi jazz Indonesia yang tampil di North Sea Jazz Festival di Belanda.
Ireng pun memberanikan diri menggarap Jak Jazz Festival. Namun, sebagaimana dikisahkan Deded, para musisi masih setengah hati menggali jazz. Secara psikologis, mereka malu-malu kucing,
merasa jazz buka milik negeri sendiri.
“Padahal jazz bukan milik bangsa Amerika, melainkan milik segala bangsa. Jazz sudah mendunia,” Deded menegaskan lewat tulisannya. Lambat laun, musisi jazz dunia mulai mengenai Indonesia. Acara dan radio jazz pun bertumbuhan di Jakarta, Surabaya dan Bandung.
Libas Festival Taraf DuniaKeterlibatan musisi jazz Indonesia di North Sea Jazz Festival (NSJF) tak hanya memperluas pergaulan, juga membuka kesempatan untuk menggelar festival serupa. Pengusaha Peter F. Gontha pun menggagas Java Jazz Festival (JJF), pada 2005.
“Bagi saya, musik adalah segalanya,” kata Peter, saat ditemui beberapa hari menjelang perayaan satu dekade JJF, tahun lalu. Selain menggelar JJF, ia juga mendirikan Jamz Cafe di kawasan Kebayoran, juga membangun radio jazz ARH.
Sejak itu, arus kedatangan musisi jazz dunia semakin deras. JJF, yang digelar rutin setahun sekali, semakin banyak peminat. Bahkan JJF sanggup melibas pamor NSJF. Peter pun disebut-sebut sebagai “Bapak Jazz Indonesia.”
JJF Mengawali Musim SemiBagi Peter, musik tak ubahnya musim semi. Karena itu, ia menggelar JJF pada akhir Februari atau awal Maret—hari pertama musim semi. Ia ingin orang bahagia saat mendengar musik (menonton JJF), sebahagia saat menyambut musim semi.
Sekalipun JJF telah berjalan lebih dari satu dekade, Peter sama sekali tak merasa memiliki festival musik yang disebut-sebut macan Asia ini. “JJF adalah milik masyarakat,” katanya rendah hati. “JJF adalah keberhasilan kita semua.”
Saban tahunnya, JJF digelar dengan komposisi 65 persen musisi Indonesia, dan dari 65 itu 50 persen harus musisi baru dan 50 persen lagi musisi yang sudah punya nama. Selain digelar di Jakarta, estafet JJF juga di Bali dan Singapura.
(vga/utw)