Tjokroaminoto, Film Besar yang Berat Direkomendasikan

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Rabu, 01 Apr 2015 12:30 WIB
Komedi ringan dalam film ini lumayan menyegarkan setelah menunggu puncak cerita yang tak kunjung datang.
Tjokroaminoto dikenal sebagai guru dari para pemimpin-pemimpin bangsa. (Dok. Pic[k] Lock Film)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dari sekian banyak nama pahlawan nasional dalam katalog resmi yang diedarkan oleh pemerintah, salah satu nama adalah mendiang mendiang Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, atau yang biasa dikenal dengan nama HOS Cokroaminoto.

Nama tersebut akrab di telinga masyarakat, namun seringkali bukan dikenal karena jasanya, melainkan karena namanya dijadikan nama jalan di kota-kota besar.

Tjokroaminoto dikenal sebagai guru dari para pemimpin-pemimpin di Indonesia. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mulai dari Semaun yang menjadi ketua Partai Komunis Indonesia pertama, Soekarno yang akhirnya menjadi Presiden Indonesia pertama, hingga Kartosuwiryo yang memimpin pemberontakan Negara Islam Indonesia (DI/NII) pada 1962.

Pentingnya sosok guru bangsa ini membuat anak cucunya yang tergabung dalam Yayasan HOS Tjokroaminoto, termasuk musisi Maia Estianty, memutuskan untuk membuat film biopik Tjokroaminoto.

Keputusan Maia dan keluarga besarnya tidak diputuskan dalam semalam. Akhirnya sang sutradara kawakan Garin Nugroho dan aktor Reza Rahadian didaulat untuk menghidupkan kembali sosok Tjokroaminoto ke layar lebar.

Film yang membutuhkan waktu selama dua tahun untuk riset hingga ke Belanda ini juga menggaet nama-nama pemain senior seperti Christine Hakim, Sujiwo Tejo, Alex Komang (almarhum), dan Didi Petet.

Tidak hanya nama-nama pemain senior. Chelsea Islan, Alex Abbad bahkan Ibnu Jamil pun juga ikut berkontribusi.

Maju mundur

Melihat cuplikan dan posternya, film ini tampak begitu hebat. Tapi dari segi penceritaan, film yang mengharuskan penontonnya duduk manis selama tiga jam ini tidak berhasil membuat penonton merasakan hasrat cinta bangsa yang sama seperti Tjokroaminoto rasakan.

Bukan karena Garin yang tak piawai. Sutradara film Opera Jawa (2006) itu sudah sangat baik menggambarkan situasi dan kondisi kehidupan Tjokroaminoto yang hidup di Jawa pada 1890 hingga 1920-an. Saking baiknya, Garin seakan membuat film ini terasa seperti sekuel Opera Jawa.

Bukan pula karena akting dari Reza Rahadian. Peraih tiga piala Citra ini sudah cukup baik memerankan Tjokroaminoto, karena terlihat sangat berusaha berdialog dengan logat Jawa meski harus dikatakan hasilnya ndak jawani.

Bukan juga sebab kehadiran para pemain senior. Karena meskipun hanya diberikan peran kecil yang tidak begitu penting, nyatanya mereka mampu membuat para pemain baru yang mendapatkan peran penting terlihat amatir.

Bukan juga akibat sinematografi. Film ini malah dapat dikatakan sebagai salah satu film nasional dengan sinematografi terbaik.

Perasaan gundah selama tiga jam tersebut muncul setelah mengikuti alur cerita yang disajikan.

Keterangan waktu yang kadang maju-mundur tanpa menjelaskan kronologi ataupun latar belakang kejadian, membuat sebagian penonton harus ekstra berpikir untuk memahami cerita. Padahal tidak semua penonton mengetahui sejarah hidup Tjokroaminoto.

Jika dibandingkan dengan film mengenai sejarah Indonesia lainnya, rasanya lebih mudah paham ketika menonton film Di Balik 98 (2015), Soekarno (2013), Habibie-Ainun (2012) atau Sang Pencerah (2010).

Meskipun beberapa di antaranya adalah film drama percintaan yang lumayan banyak tambahan fiksi, namun film-film tersebut mampu membimbing penonton untuk memahami alur sejarah dengan lebih mudah.

Pemberian keterangan kejadian ataupun nama tokoh dalam film tersebut juga sangat membantu banyak penonton Indonesia yang masih rendah minatnya untuk memahami sejarah bangsanya sendiri.

Beberapa adegan komedi ringan dalam film ini lumayan membantu menyegarkan pikiran menunggu puncak cerita yang tak kunjung datang karena drama tiga babaknya terasa datar. Lagu-lagu lawas, yang salah satunya dibawakan oleh Maia Estianty, pun terasa apik dan menghibur.

Secara keseluruhan, film ini layak memenangkan penghargaan festival film, namun film ini gagal memenangkan hati penonton kebanyakan.

Jika Anda berencana menonton film ini, pastikan cadangan makanan dan minuman Anda cukup untuk tiga jam ke depan.

Antisipasi gangguan dari penonton di samping Anda. Jelas itu akan membuyarkan otak Anda yang sedang menyusun satu demi satu sejarah Tjokroaminoto sambil terkantuk-kantuk di dalam bioskop.

(ard/ard)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER