Jakarta, CNN Indonesia -- “Kebahagiaan adalah salah satu bentuk kejahatan.” Demikian dilantunkan penyair muda M. Aan Masyur, dengan suara nyaris tercekat, saat tampil di acara peluncuran bukunya,
Melihat Api Bekerja, di Edwin’s Gallery, Kemang, Jakarta (15/4).
“Buku ini sebetulnya bicara tentang kecepatan, masa depan, perkembangan kota, dan hal-hal lain yang membuat manusia kian jahat,” kata Aan. Sementara sepenggal bait yang ia lantunkan itu dicuplik oleh kurator, sejarawan dan penulis Farah Wardani, untuk brosur acara.
Selain peluncuran buku, di tempat yang sama juga diadakan pameran kolaborasi puisi karya Aan dan ilustrasi kreasi Muhammad Taufik alias Emte, hingga 26 April 2015. Materi pameran kali ini dikurasi oleh Farah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat Api Bekerja berisi rangkuman 54 puisi karya penyair asal Bone ini, termasuk sebuah puisi berjudul sama. Larik-larik puisi ditafsirkan Emte ke dalam gambar cat air. Dari sekitar 60-an gambar di buku, 41 di antaranya dipamerkan di galeri.
Kolaborasi yang terbilang baru ini tersimak menyegarkan. Larik puisi Aan yang berbicara tentang kenangan, kerinduan, dan benda-benda mati yang “dipaksa” untuk berperasaan, dipadu ilustrasi Emte yang digurat dengan gradasi cokelat kehitaman.
Di satu sisi, puisi-puisi di buku ini menganggap kebahagiaan sebagai kejahatan. Ada kalanya orang malas berpikir karena mengejar kebahagiaan. Di sisi lain, Aan juga menyoroti ketergesa-gesaan.
“Tokoh-tokoh di puisi saya adalah orang-orang masokis yang terjebak masa lalu,” kata pemilik akun Twitter @hurufkecil. Salah satu contohnya, puisi
Mengamati Lampu Jalan di mana Aan menganggap kebahagiaan adalah kejahatan dalam bentuk lain.
“Tapi lampu jalan dekat pohon yang baru ditebang itu merahasiakan perasaannya.Ia tetap menunggumu di sana dengan cahaya yang sama.Kau seperti biasa berjalan pulang kerja melewatinya,juga melewati lampu jalan depan rumahmu yang mati,sambil berpikir betapa berbahaya kesedihan.”(
Mengamati Lampu Jalan, Melihat Api Bekerja, halaman 121)
Di
Melihat Api Bekerja, Aan seolah menyusup ke dalam puisinya sebagai sosok lain. Tak heran bila buku ini tersimak berbeda dibanding buku pertamanya,
Hujan Rintih-rintih, yang terbit sepuluh tahun lalu.
“Jangan-jangan kita bahagia karena kita tidak peduli pada ketidaknyamanan di sekitar kita,” kata Aan sembari mencontohkan kegiatannya di Katakerja, perpustakaan kecil yang ia kelola bersama teman-temannya di Makassar, Sulawesi Selatan.
Berlokasi di tepi jalan, gedung Katakerja kerap disatroni para pengemis. Aan bersikeras tidak memberikan apa pun kepada mereka, “Saya akan biarkan sampai mereka lelah dan kesedihannya mencapai batas, dan kesedihan itu menjadi kemarahan kepada negara.”
Begitulah Aan dan digresinya. Budayawan Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantarnya di buku ini menyebut Aan, “sama sekali tidak ada upaya untuk menghindari digresi—suatu kualitas yang dicap negatif dalam tradisi tulis."
Melihat Api Bekerja tak ubahnya toko yang baru direnovasi dan menambah etalase. Banyak barang baru yang menawan, namun tak ada niat mengenyahkan barang lama. Larik tertentu tersimak repetitif (bila tidak ingin disebut
redundant) dan terkesan mengganggu.
Bukan sekali ini saja Aan menampilkan tokoh, yang saking kesepiannya, terpaksa memeluk dirinya sendiri, seperti yang tersimak dalam S
udahkah Kau Memeluk Dirimu Hari Ini, atau
Surat Pendek buat Ibu di Kampung.Begitu juga karya Aan yang lain,
Menjadi Kemacetan, juga
Seorang Lelaki dan Binatang-binatang yang Hidup dalam Jasnya. Bisa jadi Aan menggandeng Emte, karena tak ingin berlama-lama—sebagaimana diistilahkan Pramoedya Ananta Toer—terbakar amarah sendirian.
Saat para tamu beranjak dari galeri, Aan bergeming. Dengan nada canda ia berkata, “Tak apa. Saya sudah biasa sendirian. Sendiri adalah nama tengah saya.” Sekalipun sendiri, semoga Aan tetap hangat dengan api di kepalanya.
(vga/vga)