Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi sebagian orang, terutama perempuan, fiksi merupakan pelarian. Dan di antara segudang tema cerita fiksi, romansa adalah yang paling diminati. Lihat saja bagaimana rak fiksi penjual angan dan romansa di toko buku hampir selalu dipenuhi judul baru.
Romansa merupakan hal paling ringan yang bisa dikonsumsi kapan pun, dalam situasi apa pun. Membaca novel romansa bagaikan merangkak ke dalam selimut tempat tidur setelah seharian yang melelahkan. Apa sebenarnya kelebihannya?
Romansa adalah pelambung angan, penyentuh perasaan. Novel romansa selalu berhasil mengajak pembaca masuk ke kehidupan si tokoh utama, mengombang-ambingkan perasaan seperti sedang berada di dalamnya. Pembaca bisa diajak jatuh cinta ke langit ke-tujuh, lalu mendadak diempaskan ke bumi oleh sakitnya patah hati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sudah tahu begitu, kisah romansa tetap menjadi candu. Ia bagai makanan lezat berlemak, berkolesterol, atau berkadar gula tinggi. Meski membuat sakit, tetap enak dinikmati. Walaupun, itu semua tak berarti ketika buku habis dan pembaca kembali ke dunia nyata.
Lantas, apakah itu buruk?
Sebagai seseorang yang sesekali butuh hiburan, atau pencinta jalan keluar pintas, romansa adalah jawaban. Setelah menuntaskan satu paket novel penuh kisah cinta, mengutip tulisan
The Guardian, biasanya ada senyum lebar. Sesekali tangis, tapi itu pelampiasan emosi yang baik.
Ada yang berteriak dari otak: masih ada harapan! Sepahit apa pun hidup pembaca, dari buku romansa ia bisa mendapat harapan untuk menemukan cinta, bahkan pangeran impiannya.
Konyol, mungkin. Tapi perempuan terkadang suka dibuali. Kelompok orang yang putus asa terkadang memang butuh dikonyoli. Yang penting mereka menyadari, tidak semua keinginan akan tercapai. Tidak semua kisah cinta akan indah.
Dan yang lebih penting lagi, efek kebahagiaan atau harapan yang melambung usai membaca novel romansa itu, hanya sementara. Tapi setidaknya itu cukup untuk memantikkan kembali harapan untuk berlaku baik demi mendapat yang baik.