Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Bukan sekali atau dua kali Ayu Utami diundang menjadi pembicara dalam kegiatan bertaraf internasional. Dua tahun berturut-turut ia menjadi pembicara pada sebuah acara pesta buku di Bangkok. Kelamaan Ayu heran, mengapa harus dirinya, yang asli Indonesia?
“Kami butuh wakil sastrawan Asia Tenggara,” begitu jawaban salah satu perwakilan yang mengundang Ayu kala itu. Ia merasa Thailand masih punya kemampuan yang bisa dibanggakan perkara musik atau film. Tapi saat bicara sastra, mereka memercayakan pada Indonesia. Negeri ini dianggap lebih layak.
Jawaban itu mengejutkan, bukan hanya Ayu, tapi juga kita bangsa Indonesia. Sastra, genre buku fiksi yang di kalangan kita identik dengan orang-orang serius serta kata berbunga-bunga, terkadang dibumbui erotisisme, ternyata diminati asing. Tak heran sastrawan merupakan kelompok yang diboyong ke Jerman saat Indonesia jadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015, 13 hingga 18 Oktober mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi jika diminta menyebut, bisakah memberi contoh 10 sastrawan ternama kita? Goenawan Mohamad, Ayu Utami, Leila S. Chudori, Ahmad Tohari, A.S. Laksana, Eka Kurniawan, lalu siapa lagi? Seakan ada jeda yang jauh antara penulis sastra seusia Eka—katakanlah dia sebagai yang termuda—sampai generasi “
alay” kita.
Ya, Indonesia kekurangan penulis sastra. Padahal tahu sendiri, Leila tidak bisa setiap tahun menelurkan buku. Setelah
Pulang, novelnya yang diluncurkan paling
9 dari Nadira dan
Malam Terakhir, yang merupakan kumpulan cerita pendek wartawan senior Tempo itu.
Ayu juga tidak setiap tahun bisa menulis novel seperti
Saman atau
Larung. Pun
Ahmad Tohari, tak selalu karyanya sehebat trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk. Eka masih cukup produktif, setelah
Cantik Itu Luka ia punya
Lelaki Harimau,
Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, lalu kumpulan cerpen
Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi.
Tapi jika generasi itu tak disambung, tak diteruskan ke yang lebih muda, kelamaan putus jua. Sama seperti film Indonesia yang dahulu pernah mati, kemudian bangkit kembali melalui
Ada Apa dengan Cinta? sampai film
The Raid.
Mulai diliriknya sastra Indonesia, terutama lewat festival-festival buku di luar negeri, adalah kesempatan. Gerbang telah dibuka. Genderang telah ditabuh. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya. Terus menyodorkan GM, Ayu, Leila, Tohari, Eka, atau memberi suplai lain berupa bibit-bibit penulis sastra usia muda.
Siapa yang bisa mendorong munculnya penulis-penulis muda itu? Komunitas sastra, jelas. Mereka harus membumi. Ayu saja tak segan menjadi editor untuk penulis muda yang menerbitkan buku seri tentang zodiak. Clara Ng, penulis novel kita, juga terbuka terhadap generasi muda, ikut membidani buku mereka.
Pihak lain yang juga bisa menumbuhkan minat pada sastra adalah penerbit. Novel sastra kudu didorong agar lebih disukai, dan sebanding dengan novel-novel populer berlatar metropolitan yang sebulan bisa tiga judul baru.
Selain mendorong tumbuhnya kecintaan sastra, penting juga untuk memfasilitasi merekaq nantinya. Sebagai penulis yang namanya sudah kondang, Ayu mengaku sering melihat potensi bagus di Tanah Air. Tapi katanya, sayang karena mereka tak pernah dapat kesempatan. Jendela mereka untuk melongok dunia masih tertutup.
Salah satu cara membuka jendela itu, menyediakan konten berbahasa asing. Namun buku Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa asing masih bisa dihitung jari. Setahun, satu buku saja belum tentu. Padahal festival demi festival makin banyak yang diikuti. Jika novel yang ditawarkan itu-itu lagi, sama saja bohong. Meminjam istilah Ayu, Indonesia bisa jadi hanya seperti toko buku yang kosong melompong.
(rsa/rsa)