Jakarta, CNN Indonesia -- Coba masuk ke toko-toko buku besar di luar negeri, seperti Barnes and Noble di Singapura dan Inggris. Hampir tidak ada buku karya penulis Indonesia yang terpajang di raknya. Sementara penulis Asia lain, seperti Haruki Murakami, sudah hampir pasti selalu ada.
"Pram (Pramoedya Ananta Toer) pun sudah susah," kata penulis Leila S. Chudori saat ditemui di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis (30/4). Karya-karya Pram memang tergolong lawas. Tapi buku baru seperti
Amba (Laksmi Pamuntjak),
Larung dan
Saman (Ayu Utami),
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), atau
Lelaki Harimau (Eka Kurniawan) pun tak banyak.
Menurut Leila dan Ayu, itu karena tidak banyak buku penulis Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa asing. John McGlynn, penerjemah bahasa Indonesia ke bahasa Inggris untuk penerbit Lontar setuju akan hal itu. Selama 28 tahun bergabung dengan Lontar, ia mengamati hanya ada 200 buku Indonesia yang diterjemahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebanyakan dari Lontar. Tahun 2012, hanya 23 buku sastra yang diterjemahkan ke bahasa asing, 20 oleh Lontar," katanya pada CNN Indonesia saat ditemui di Galeri Nasional.
Jumlah penerjemah pun tidak banyak. Yang bonafide hanya sekitar 10 orang. Hampir semuanya orang asing. Kalau pun ada orang Indonesia, harus
native speaker. Tidak banyak orang yang berminat jadi penerjemah.
Bayarannya hanya sekitar Rp 5 sampai 10 juta per buku. Padahal satu buku bisa digarap berbulan-bulan, apalagi yang bagus. Namun, masalahnya bukan hanya soal jumlah penerjemah.
Penerbit juga banyak yang enggan. Sebab, kata McGlynn, ia jadi tidak dapat apa-apa. "Dari harga jual buku, 60 persen masuk ke toko dan distributor. Ongkos produksi biasanya kira-kira 30 persen. Penerbitan dapat maksimal 10 persen. Kalau diterjemahkan ke bahasa asing, yang 10 persen itu hilang," katanya.
Penerbit di Indonesia jadi tidak dapat apa-apa dari buku yang diterjemahkan. Karena itu, penerjemahan biasanya dilakukan hanya pada buku-buku yang diyakini penerbit bakal laku.
"Buku-bukunya sangat komersial, misalnya tentang hijab atau tren yang sesuai pasar. Kalau sastra, susah sekali," ujar McGlynn.
Menerjemahkan karya sastra juga susah secara teknis. Penerjemah harus punya rasa bahasa. Jika tidak, buku akan dianggap remeh, padahal aslinya bagus. Saat
Saman diterjemahkan ke bahasa Jerman, kata McGlynn, tidak banyak yang tertarik karena tata bahasanya jadi jelek.
Begitu pula
Ronggeng Dukuh Paruk. "Hasil terjemahannya jelek sekali. Makanya setelah itu enggak ada yang mau," kata McGlynn bercerita. Menerjemahkan yang bagus, butuh waktu panjang. Ia sendiri butuh 18 bulan untuk menerjemahkan
Pulang karya Leila Chudori.
Frankfurt Book Fair 2015 merupakan salah satu gerbang bagi para penulis Indonesia untuk mencicipi angin segar luar negeri. Bukan hanya buku mereka dipampang di sana, apalagi Indonesia tahun ini menjadi tamu kehormatan.
Pada kesempatan itu, negara-negara lain juga bisa mengintip karya sastra Indonesia dan membeli hak untuk menerbitkannya. "Ini akan jual beli
rights. Jadi butuh infrastruktur yang mendukung, bukan hanya untuk tahun ini saja. Harus institusional," ujar Leila.
(rsa/vga)