Jakarta, CNN Indonesia -- Siapa tak mau mengunjungi Menara Eiffel? Lokasi itu dikunjungi lebih dari 80 juta turis mancanegara per tahun. Menariknya, Perancis tak perlu mengeluarkan banyak duit untuk mempromosikan menara ikonik itu. Eiffel sudah banyak muncul di film, termasuk Indonesia.
Selain Paris sendiri merupakan eksportir film terbesar ke-dua setelah Amerika Serikat, ia juga menjadi destinasi terlaris untuk produksi film asing. Coba hitung berapa banyak film yang berlatarkan Eiffel. Serial televisi Indonesia pun sampai jauh-jauh datang ke sana.
Olga Lydia, salah satu selebriti Indonesia yang beberapa waktu lalu ke Paris sebagai perwakilan sinema dalam Cannes Film Festival, menyadari itu. "Bisa dibayangkan berapa dana yang harus dikeluarkan bila pasang iklan di channel televisi dunia, bahkan untuk 30 detik saja," tulisnya dalam laporan dari Cannes.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun film, bisa mempromosikan negara dengan cara jauh lebih murah. Keindahan alam suatu negara bisa terekspos secara maksimal dalam durasi satu sampai dua jam, tanpa harus mengeluarkan biaya. Bukan tidak mungkin Indonesia mengiming-iming dengan cara itu.
"Satu hal yang sering kita lewatkan adalah betapa erat hubungan antara film dan pariwisata," tutur Olga. Sebagai perwakilan Indonesia di Cannes, ia dan tim melakukan pendekatan dengan banyak negara asing.
Dengan Singapura dan Korea Selatan, Olga membicarakan masalah pengambilan gambar. "Mereka dengan penuh semangat mengundang kami untuk melakukan syuting di negara mereka," ujar Olga antusias. Tetek-bengek perizinan pun dipermudah, untuk film panjang maupun pendek.
"Asal, kurang lebih 60 menit menampilkan negara mereka," ujar Olga menambahkan.
Indonesia punya sumber daya yang nyaris tak terhingga untuk dipamerkan. Seharusnya, kita juga bisa melakukan itu. Selain itu, menurut Olga, kekuatan Indonesia juga ada pada keramahan dan variasi kuliner Nusantara.
Rendang yang disajikan setelah pemutaran film
Tabula Rasa pada hari ke-dua Cannes Film Festival misalnya, sangat diminati. Dua ratus porsi ludes. Orang asing juga menyukai kopi khas Indonesia yang sengaja dibawa untuk mengiringi perjalanan film
Filosofi Kopi.
"Kadang setelah meeting dengan beberapa produser mereka mampir (ke booth Indonesian Cinema) beberapa kali sekadar duduk ngobrol dan minum kopi," Olga bercerita. Bahkan, tak sedikit yang meminta untuk membawanya pulang.
"Jadi booth Indonesia lumayan populer. Karena ramah, dan ada kopi yang enak," kata Olga.
Olga yakin film dapat menjadi soft power Indonesia untuk menarik minat asing, baik itu turis maupun siswa. Perancis, Amerika Serikat, dan Korea Selatan telah menerapkannya. Budaya mereka telah meresap ke generasi Indonesia.
"Saya percaya, film adalah ujung tombak untuk maju dan menawarkan Indonesian Pop pada dunia!" ujar Olga menegaskan dengan yakin. Kalau memang mau begitu, film Indonesia seharusnya memakai latar negeri sendiri, lalu memperjuangkan filmnya ke festival asing.
Artinya, kita perlu lebih banyak film seperti
Laskar Pelangi, Denias Senandung di Atas Awan, Mirror Never Lies,
Pendekar Tongkat Emas, atau
Java Heat.
(rsa/rsa)