Jakarta, CNN Indonesia -- Dulu, jangan coba-coba mengganggu Slamet Abdul Sjukur saat sedang
ngebleng atau berfokus pada pekerjaan. Bahkan putrinya, Tiring Mayang Sari, hanya berani mencolek untuk mengingatkan makan.
Hal ini disampaikan Tiring kepada
CNN Indonesia saat digelar perayaan
80 Tahun Slamet Abdul Sjukur di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, pada Jumat (3/7).
Dikatakan Tiring, semasa hidup, ayahnya tidak boleh diganggu selagi asyik menyusun komposisi lagu. Barulah dua pekan hingga tiga bulan kemudian, ia boleh mengajak sang ayah mengobrol.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tidak berani menonton televisi kalau Bapak sudah
ngebleng, untuk mengingatkan makan saja saya hanya mencolek Bapak," kata Tiring.
Hal serupa juga disampaikan oleh kawan baik Slamet, pianis Aisha Ariadna Sudiarso Pletscher, saat dihubungi
CNN Indonesia via telepon, tadi malam (5/7).
“Ada masa-masa di mana Pak Slamet sangat kreatif berkarya, dan tidak mau ditemui atau diganggu,” kata putri pianis kawakan Iravati Mangunkusumo Sudiarso.
“Sebagai musisi, saya mengerti sekali. Jangankan Pak Slamet, kami pun 'bertapa.' Saat menyiapkan konser, kami pun tak ketemu orang atau diajak ngomong.”
“Pertapaan” yang dilakukan Slamet, juga banyak musisi atau seniman lain, diakui Aisha, merupakan cara untuk “menyimpan energi, mewujudkan kreasi, dan memahami komposisi.”
Pengakuan yang sama juga dituturkan komponis Michael Asmara. Dalam tulisannya yang dimuat di laman Kelola, beberapa tahun lalu, ia menyebut Slamet termasuk komponis yang bekerja sedikit lambat.
“Jadi untuk satu komposisi, dia membutuhkan waktu pengerjaan sekitar 6.120 jam,” tulis Michael. Artinya, Slamet pernah membutuhkan 255 hari untuk “bertapa.”
Saat diwawancarai setahun kemarin, Slamet mengaku hanya menggarap tiga komposisi dalam kurun dua tahun, yaitu
Game-Land 5 (2012),
Suroboyo (2013), dan
Semut Ireng (2013).
Kini, Slamet telah sampai pada pertapaan abadinya. Ia meninggal di usia 79 tahun, pada 3 Maret lalu, di Surabaya, Jawa Timur, setelah dirawat di Rumah Sakit Graha Amerta selama dua pekan.
Sepeninggal Slamet, kita terus mengenang filosofi sang petapa yang sarat makna, “Berkarya seperti mendengarkan keheningan. Bukan membaca hafalan dengan pengeras-suara.”
(vga/vga)