Jakarta, CNN Indonesia -- Konsistensi produksi film biopik tokoh bangsa tak sesuai dengan jumlah total bangku bioskop yang terisi. Sulit mencapai angka satu juta penonton, film biopik tetap saja menjadi genre pilihan produsen dan sutradara film Indonesia.
Dalam diskusi bertajuk
Dari Gie hingga Tjokroaminoto: Sebuah Diskusi tentang Film Biopik, pada Rabu (8/6) di Komunitas Salihara, salah satu pembicara, kritikus film dan wartawan majalah Tempo Leila Chudori mengurai kekurangan sinema biopik di Indonesia ke dalam empat poin.
Menurut Leila, dalam makalahnya di diskusi tersebut, masalah pertama adalah intervensi dari pencetus ide film yaitu suatu institusi atau keluarga sang tokoh. Leila berpendapat, bahwa partisipasi dua pihak itu menghambat sang tokoh ditampilkan secara manusiawi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Risikonya, mereka kemudian menjadi tim yang membentuk cerita, ikut dalam penulisan, ikut mengoreksi skenario. Keterlibatan penyandang dana atau pencetus ide itu buat saya menjadi persoalan karena tidak mungkin tokohnya akan ditampilkan dengan manusiawi—pokoknya yang baik-baik saja, " ucap Leila.
Pembicara lain di diskusi tersebut, dosen FISIP UGM Budi Irwanto menambahkan, bahwa karakter yang "lurus" membuat film jadi membosankan. Kemudian berujung pada gagalnya film meraup untung.
Masalah ke-dua adalah pelajaran sejarah yang buruk di pendidikan Indonesia. Menurut Leila, faktor ini menyumbang pada stagnansi interpretasi sineas pada film bertema sejarah. Walhasil, tema sejarah alternatif (
alternate history) belum dijamah oleh sineas Indonesia.
"Selama 32 tahun kita dididik sejarah versi Pemerintah, hanya satu versi. Kita tidak pernah dididik untuk
compare-contrast tafsir sejarah dari berbagai sejarawan," kata Leila.
Lebih jauh ia menambahkan, "Kalau di negara lain banyak sejarawan yang memiliki berbagai tafsir akan suatu peristiwa atau tokoh. Karena pelajaran sejarah kita seperti itu maka masyarakat tidak mengenal alternatif, tidak berani mempertanyakan sejarah."
Ke-tiga adalah dramatisasi cerita, bumbu umum dalam film biopik. Namun penggunaannya kadang meleset, alih-alih menjadikan narasi apik malah jadi blunder.
Contohnya, menurut Leila, adalah adegan di mana seorang petinggi Jepang yang mengacungkan samurainya pada Ir. Soekarno di film
Soekarno (2013) yang tak berhasil meyakinkan penonton. "Meskipun film cerita kan bagian fiktifnya harus bisa dipercaya," ucap Leila.
"Penonton tidak berangkat dari kekosongan imajinasi. Itu yang problematis, orang akan mencoba mencocokan imajinasi dari apa yang mereka baca dengan apa yang dilihat di layar," kata Budi.
Ke-empat, persoalan pendekatan alur kronologi pada biopik Indonesia. Leila berpendapat, bahwa film biopik Indonesia kebanyakan masih menampilkan CV seorang tokoh yang divisualkan.
Rentang hidup seorang tokoh yang terlalu lebar mau tak mau harus dipadatkan. Seringkali momentum definitif, seperti terbentuknya ICMI yang seharusnya ditampilkan di
Habibie & Ainun (2012), atau pengusiran Soekarno dari Istana Negara dalam
Soekarno (2013), justru tak ditampilkan.
"Film sejarah, saya kira, membantu untuk menganyam dari banyak kepingan ingatan. Dia mengumpulkan keping yang tidak koheren, penulis naskah dan sutradara yang membuatnya menjadi sesuatu yang kita pahami. Ini jadi persoalan koherensi narasi bukan sejarah saja," tutup Budi.
(vga/vga)