Selepas SMP, Livi memberanikan diri merantau ke Negeri Paman Sam. Sekalipun memiliki bekal akademis ekonomi, perempuan 26 tahun ini memilih berkarier di industri film. Ia pun membulatkan tekad untuk serius menekuni bidang baru ini.
"Saya sadar bahwa untuk bisa terjun ke bidang film, saya tidak bisa hanya paruh waktu,” katanya. “Jadi saya memutuskan untuk berkuliah S2 di University of Southern California.” Jurusan yang dipilihnya, yaitu Film Production.
Sebelumnya, saat masih menyandang gelar S1, Livi sering membantu kru di lokasi syuting. Hal ini menyadarkan Livi, betapa pekerjaan di ranah film tidaklah mudah. Bisa berlangsung 18 jam lebih, bahkan hingga larut malam atau baru mulai malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jelas pekerjaan di film tak bisa disambi dengan pekerjaan lain. Livi pun sampai di titik pemikiran di mana ia harus memutuskan untuk meneruskan karier di bidang ekonomi atau film. “Saya putuskan untuk teruskan karier di film,” ia menegaskan.
Livi merasa bahwa menjadi sutradara membutuhkan jam terbang tinggi di berbagai departemen produksi. Mustahil seseorang tiba-tiba jadi sutradara. Apalagi proses penggarapan film juga tak selalu berjalan mulus.
Livi menyadari, menjadi sutradara film aksi di umur 23 tahun, ketika itu, tentu tak semudah memproduksi film rumahan. Produksi
Brush with Danger memakan waktu lama, karena sebagai aktris dan sutradara, ia tak bisa langsung melihat hasil syuting.
Dan ternyata tantangan terbesar Livi bukan soal perkara itu saja. "Yang paling sulit tantangannya: mengumpulkan tim profesional untuk menjadi kru saya. Kan kami semua harus satu visi,” kata sang sineas pemula.
Kru sempat bertanya soal film yang sudah digarap Livi. Tentu saja tak mudah bagi Livi bila krunya tidak percaya dengan visinya sebagai sutradara. Namun setelah membaca skenario final, kru pun akhirnya setuju menyokong Livi.