Vinil, Barang Seni yang Butuh Terobosan Teknologi Baru

Ardita Mustafa & CNN | CNN Indonesia
Jumat, 14 Agu 2015 09:46 WIB
Vinil masih butuh terobosan baru agar bisa bertahan, karena vinil bukan lagi sekadar rekaman musik.
Ilustrasi piringan hitam. (Pixabay/niekverlaan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Perayaan Vinyl Records Day jatuh pada 12 Agustus setiap tahunnya. Namun hari pemujaan terhadap piringan hitam itu kini menjadi ironis.

Betapa tidak, karena seperempat anak muda yang membeli vinil ternyata jarang mendengarkannya. Demikian hasil sebuah survei di Inggris.

Vinil mungkin dianggap sebagai barang koleksi atau pencitraan. Untuk itu, vinil jelas butuh terobosan baru agar bisa bertahan, karena vinil bukan lagi sekadar rekaman musik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama kali muncul pada 1920-an, vinil tetap digemari para penggemar musik hingga saat ini. Setelah kaset muncul, pada 1970-an, lalu disusul CD, keberadaan vinil semakin terasingkan. Karena CD dan kaset memiliki format yang lebih ringkas, meski akhirnya tumbang juga dengan mp3.

Seiring perkembangan gaya hidup modern, vinil kembali populer, pada 2007. Penjualannya meningkat sebesar 54 persen, pada 2014, di Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Padahal saat itu, penjualan rekaman musik analog sedang melemah.

Kejayaan Rough Trade

Label rekaman musik independen, Rough Trade, menjadi pihak yang diuntungkan. Pada 1980-an, perusahaan tersebut berhasil mengontrak musisi papan atas seperti The Smiths dan Talking Heads.

Toko musik milik Rough Trade pun membuka cabang di kota-kota besar dunia, seperti Paris dan Tokyo.

Hingga akhirnya Rough Trade terombang-ambing setelah format musik digital dikenal masyarakat dunia. Rough Trade bangkrut, pada 1991, dan cabang-cabangnya pun ikut tutup.

Pada 2007, Rough Trade bangkit kembali. Label rekaman tersebut kembali mengontrak musisi papan atas dunia dan membuka cabang lebih banyak di Inggris dan Amerika Serikat.

Membuat toko musik yang menjadi pusat penjualan senyaman rumah diakui salah satu pemilik Rough Trade, Stephen Godfroy, adalah salah satu latar belakang populernya kembali Rough Trade.

"Ini adalah peran asli sebuah toko musik. Selain menjadi pusat penjualan, ini adalah tempat berkumpulnya orang-orang kreatif yang menggemari musik," kata Godfroy, seperti yang dikutip dari CNN, pada awal Agustus.

Gelombang anak muda yang menggemari vinil juga merupakan dorongan eksisnya lagi Rough Trade.

"Lima tahun terakhir, musik kembali hidup. Kita perlu berterima kasih terhadap akses musik yang murah. Ditambah, banyak anak muda yang menjadi kolektor musik seperti vinil," ujar Godfroy.

"Anak muda ingin sesuatu yang lebih dari sekadar musik digital. Mereka ingin memiliki artefak dari apa yang mereka sukai. Vinil adalah salah satu media mereka mewujudkan hal tersebut," lanjut Godfroy.

Walau semakin berkembang, namun Rough Trade tetap berhati-hati dalam memilih bentuk kerja sama. Hingga saat ini, Rough Trade telah bekerja sama dengan penerbit buku, produsen sepeda dan perawatan kulit.

"Kami semakin berkembang, lebih dari sekadar toko musik," kata Godfroy.

Butuh Teknologi Baru

Perkembangan vinil tidak sebanding dengan perkembangan pabriknya. Alat-alat pembuat vinil belum ada yang modern sehingga produksi vinil pun jadi terbatas.

Lusinan pabrik pencetak vinil di Amerika dan Eropa harus mampu memproduksi permintaan vinil yang semakin tinggi setiap bulannya di dunia.

Hanya terdapat dua pabrik pencetak vinil yang lumayan modern, antara lain di Jepang dan Berlin. Namun pabrik di Jepang telah tutup setelah bencana tsunami, pada 2011.

"Bisnis ini berjalan selama 50 tahun dengan mesin dan teknologi yang kuno," kata Raik Hölzel, bos dari pabrik vinil di Berlin, Handle with Care.

"Saat ini, kami sedang berusaha menghimpun dana untuk membuat teknologi pencetakan vinil yang baru. Semua orang telah lama menanti teknologi tersebut," ujar Hölzel.

Angka penjualan memang meningkat, tapi angka pemesanan vinil masih belum terlalu menggembirakan. Perusahaan Hölzel pun menjajaki pasar musik di Inggris untuk mencari klien baru.

Agar vinil lebih menarik, perusahaan Hölzel mulai menawarkan pembuatan vinil dari berbagai macam bahan seperti biji kopi, darah bahkan abu kremasi.

"Detail menjadi hal yang sangat penting. Mereka ingin memiliki sesuatu yang terbatas. Kami mencoba mencetak sesuatu yang sangat personal," kata Hölzel.

Dominik Bartmanski, pakar sosiologi dari Technical University di Berlin, yang juga menulis buku berjudul Vinyl: The Analogue Record in the Digital Age, mengatakan di masa depan vinil akan menjadi barang mewah baru yang banyak dikoleksi.

"Vinil tidak lagi menjadi barang yang bisa dibeli dengan bebas karena keberadaannya akan menjadi lebih penting," ujar Bartmanski.

Dikatakan Bartmanski, salah satu penyebabnya adalah kebiasaan mendengarkan musik secara digital telah menjadi keseharian. Sementara mendengarkan musik analog, seperti vinil, menjadi semacam ritual.

"Anda tidak akan mengunduh makanan yang Anda suka. Anda akan pergi ke restoran untuk mendapatkan pengalaman mencicipinya. Pengalaman seperti ini tidak bisa disimpan di komputer atau telepon genggam," ujar Bartmanski.

Intinya, jika semakin banyak orang yang membeli rekaman musik asli, maka industri musik pun akan terselamatkan.

Dan bisa jadi, nilai vinil pun akan sama seperti lukisan, yang menyediakan pengalaman berkesenian dengan level lebih tinggi.

[Gambas:Youtube] (ard/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER