Jakarta, CNN Indonesia -- Yosep Anggi Noen, seorang sutradara muda terkejut saat mengikuti Festival Film Antikorupsi 2015. Padahal baru dua kota ia datangi, Bali dan Kendari. Festival itu masih akan
roadshow ke 10 kota lain.
Dalam perbincangan dengan CNN Indonesia di Kendari, Sulawesi Tenggara, kemarin (19/8) Anggi mengaku banyak menemukan ide menarik. Festival Film Antikorupsi memang tidak hanya memutar film dan menggelar
talkshow. Mereka juga menyaring ide dari proposal film.
"Di sini menarik, karena ada anak-anak muda yang gelisah tentang pendidikan, seperti sistem pendidikan yang kurang baik, dosen yang
nyambi, banyak cerita yang menggugah," tuturnya. Di Denpasar Bali, ia juga menemukan ide sederhana yang ternyata menarik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada isu prostitusi, itu baru bagi kami. Biasanya antikorupsi berkisar pada isu pendidikan, kebijakan. Ternyata isu prostitusi menarik untuk dieksplor. Ada keinginan anak tapi menggunakan cara yang kurang baik," Anggi kembali menceritakan.
Menurutnya, dengan pengerucutan tema antikorupsi, anak muda jadi lebih kreatif dan peka menggali isu.
Anggi juga melihat antusiasme yang luar biasa dari generasi muda, pangsa pasar utama Festival Film Antikorupsi. Dari sesi tanya jawab saja, ia melihat generasi muda sangat kritis terhadap perfilman dan kampanye antikorupsi. Itu harus dipelihara sebagai gairah film.
"Caranya harus terus-menerus didorong. Kalau tidak dengan festival film seperti ini, ya dengan menonton film. Film pemenang KPK misalnya, kirim saja ke tempat lain dan diputar terus," katanya. Ia pernah melakukan hal yang sama di Yogyakarta, dahulu.
"Memangnya dulu Yogya banyak yang bikin film seperti sekarang? Kami melakukan seperti itu terus-menerus. Kita bukan hanya membuat, tapi juga menonton. Karena dengan menonton orang akan terinspirasi," ujar sutradara film
Kisah Cinta yang Asu. Semakin banyak menonton, semakin tahu film bagus.
 Suasana talkshow di Festival Film Antikorupsi 2015, Kendari (19/8). (CNNIndonesia/Rizky Sekar Afrisia) |
Namun Anggi mengakui, film-film serius seperti yang berisikan kampanye antikorupsi, apalagi film pendek, tidak terlalu diterima pasar
mainstream. Ia mengaku tidak memedulikan sisi bisnisnya. Yang penting film dimanfaatkan sebagai media menjaring penonton lebih luas.
"Dengan film, apalagi film pendek, bisa di-
sharing lebih banyak, lewat ponsel misalnya," ucap Anggi. YouTube juga dianggapnya mampu menjangkau khalayak film lebih luas. Apalagi untuk film pendek, yang durasinya tak sampai 30 menit. Lewat media itu, pesan film tersampaikan.
Asal, film itu bisa mengemas ide cerita yang kuat dalam durasi singkat. Untuk itu, kata Anggi, sineas harus tahu apa yang mau dibuat dan mencari cara menceritakan itu secara sederhana, tanpa mengawang-awang. Jika film sudah dibuat seperti itu, tinggal masalah penyebarannya.
"Kalau melihat sisi bisnis bioskopnya, itu masalah lain. Wajar bagi saya kalau film penontonnya sedikit lalu diturunkan. Kita cari media lain."
Upaya yang harus dilakukan untuk mempromosikan film pendek dan bertema serius seperti antikorupsi diakuinya memang butuh energi ekstra. "Tapi
effort-nya memang harus besar, karena media
mainstream tidak mendukung kita," Anggi menyampaikan pendapat.
(rsa/vga)