Jakarta, CNN Indonesia -- "Kamu orang apa? Kenapa nyanyi lagu barat?" pertanyaan tersebut terlontar dari mulut seorang wartawan Harian Warta Bhakti kepada kelompok musisi bernama Melody Boys.
Malam itu, di Yacht Club yang berada di kawasan Sindang Laut, Jakarta Utara, Benyamin Sueb belum menjadi siapa-siapa. Usianya pun belum genap 30 tahun.
"Ini kan lagu dansa, masa saya mau nanyi keroncong? Nanti dansanya
ngaco," tutur Benyamin yang kala itu merupakan penyanyi latar Melody Boys.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buku berjudul
Kompor Mleduk: Benyamin S, Perjalanan Karya Legenda Seni Pop Indonesia mengisahkan, sang wartawan bersikeras agar Melody Boys mulai memainkan lagu keroncong.
Tak ingin bernasib sama seperti Koes Plus, grup musik yang beranggotakan 12 orang, termasuk sejumlah nama tenar seperti Rachmat Kartolo, ini pun lantas melantunkan
Bengawan Solo, meski akhirnya pengunjung klub malam tersebut pulang satu per satu.
Pelarangan musik Ngak-ngik-ngokSituasi politik dalam negeri di awal karier Benyamin memang panas. Presiden Soekarno pada tahun 1959 mengeluarkan manifesto politik yang kemudian dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Manisfesto politik Sukarno tersebut berdasarkan UUD 1945, sosialisme dan kepribadian Indonesia serta demokrasi dan ekonomi terpimpin.
"Engkau yang tentunya antiimperialisme ekonomi. Engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih
rock and roll-rock and roll-an, dansa-dansian ala
cha-cha-cha, musik-musikan ala
ngak-ngik-ngok, gila-gilaan dan lain-lain sebagainya lagi?" ucap Sukarno pada 17 Agustus 1959.
Buku
Media, Culture and Politics in Indonesia yang ditulis David Hill dan Khrisna Sen bercerita, sejak itu musik barat diistilahkan dengan
ngak-ngik-ngok. Pemerintah Orde Lama melarang beragam jenis musik barat, terutama segala sesuatu yang berhubungan dengan Elvis Presley dan The Beatles.
Koeswoyo Bersaudara yang dinilai menirukan musikalitas The Beatles pun ditangkap pada 29 Agustus 1965. Mereka ditahan sekitar tiga bulan dan dilepaskan beberapa saat setelah Gerakan 30 September meletus.
Jadi peristiwa di Yacht Club sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Harian Warta Bhakti memang kerap menyoroti perkembangan musik
ngak-ngik-ngok.
Melalui tajuk rencana, harian yang pertama kali terbit dengan nama Sin Po ini menyebut Koes Bersaudara telah dijadikan alat oleh kaum imperialis.
Pengamat musik yang sudah berpulang, Denny Sakrie, pernah menulis kalau pelarangan musik
ngak-ngik-ngok akhirnya mendesak para musisi zaman itu untuk bereksperimen. Memasukkan irama gambang kromong dalam lagu merupakan salah satu cara jitu yang para musisi lakukan ketika itu.
Benyamin Sueb pun melakukan hal serupa. Kejadian di Yacht Club seolah menjadi cambuk bagi Benyamin untuk meningkatkan derajat lagu-lagu Betawi.
Seni Betawi yang menyelamatkanSemasa hidupnya, Benyamin pernah mengakui hal tersebut kepada salah satu media nasional. "Kalau tidak ada larangan Bung Karno, saya barangkali tidak akan pernah menjadi penyanyi lagu-lagu Betawi," ungkapnya.
Perjalanan karier Benyamin akhirnya membentuk Benyamin sebagai pemusik Betawi. Denny melalui bukunya yang berjudul
100 Tahun Musik Indonesia, mengutip perkataan musisi Mus Mualim tentang sosok Benyamin.
"Hanya satu yang tidak diketahui orang tentang Benyamin, dia menghidupkan lagu Betawi yang nyaris mati. Itu jasanya," ungkap Mus.
Dalam bukunya, Denny mengenang Benyamin sebagai pemusik yang lihai mengimprovisasi kata dan sosok yang jujur.
"Caranya menulis lagu, yang bisa lahir di mana saja, barangkali bisa menjadi gambaran bahwa ia berupaya tampil tanpa bumbu-bumbu. Lirik-liriknya yang apa adanya, iramanya yang unik dan kadangkala kesentimentilan yang mencuat dari lagu-lagunya merupakan ekspresi yang jujur," tulis Denny.
Empat tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhyono memberikan penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma kepada Benyamin. Namanya sejajar dengan para legenda seni seperti sastrawan Hasbullah Parindurie, seniman ludruk Gondo Durasim dan pemusik Abdullah Totong Mahmud.
Sabtu (5/9) kemarin, sekelompok orang yang terdiri dari pegiat musik dan budaya serta masyarakat umum berkumpul di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Mereka berdiri di sebelah makam Bing Slamet, persis depan nisan bertuliskan Benyamin Sueb.
Dua puluh tahun lalu Benyamin memang telah menghembuskan nafas terakhirnya. Namun pesta rakyat di Karet Bivak menunjukkan siapa sosok di balik nama Benyamin Sueb.
(ard/ard)