Oase Betawi di Tengah Gempuran Budaya dan "Sinetron"

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Jumat, 12 Jun 2015 17:04 WIB
Diskusi kebetawian atau adat tradisional lain harus sering diadakan. Generasi muda jadi terbuka mata akan fakta unik Betawi.
Ondel-ondel khas Betawi (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus/pd/14)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tak bisa dipungkiri, budaya Betawi semakin terpinggirkan. Seniman lenong, penjual kerak telur, gabus pecak, dan ondel-ondel makin jarang ditemui. Yang ada di Pekan Raya Jakarta hanya gegap gempitanya. Itu diakui J.J. Rizal, seniman Betawi, saat ditemui di diskusi budaya di kawasan Kemang, Jakarta, pada Jumat (12/6).

Menurut Rizal, kesalahan terdapat di muatan lokal. Muatan yang ada di sekolah-sekolah tentang Betawi sekarang, menurutnya, tak ubahnya seperti sinetron. "Kalau melihat itu saya bingung, Betawi dari planet mana?" ujarnya melontarkan pertanyaan retoris. Sebab menurut Rizal, itu bukan representasi Betawi

"Misalnya, ada Kang Maman dari Kali Pasir. Itu sama sekali tidak Betawi," ia mencontohkan. Cerita itu menurutnya justru rasialisme, antigender, dan menyiratkan kekerasan. Padahal, orang Betawi tidak selalu keras. Hanya kalangan yang kini dikenal dengan nama Betawi Ora yang budayanya keras dan sangat cablak.
Seharusnya, menurut Rizal, muatan lokal bisa membuat generasi muda lebih peduli dan cinta Betawi. Karena itu ia menambahkan, diskusi-diskusi kebetawian atau adat tradisional lain seperti yang ia lakukan, harus sering diadakan. Perbincangan itu bak oase di tengah gempuran budaya dan "sinetron." Generasi muda jadi terbuka mata akan fakta unik Betawi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Soal generasi muda yang tidak peduli itu, Rahayu Ningsih Hoed sepakat. Rahayu, atau akrab disapa Yayuk merupakan pemilik salah satu rumah makan di Kemang, Joglo Patheya, yang dijadikan tempat diskusi Betawi bersama Rizal hari ini. Ia berbagi pengalaman soal menyajikan budaya dalam semangkuk kuliner tradisional.

Dari situ saja, sudah terlihat apatisme generasi muda terhadap budaya. "Anak-anak lebih suka pesan pizza, nugget," ujarnya menyebutkan. Mereka tak tertarik pada kuliner tradisional. "Anak saya pun dahulu tak suka makan gudeg," lanjutnya.
Berbeda dengan orang dewasa bahkan berumur, yang kini lebih tertarik pada kuliner tradisional karena semakin sulit dicari. Namun sebenarnya itu bisa diakali dengan lebih mengenalkan anak muda pada budaya. Jangan terus dipapar asing.

Mengajak menikmati kuliner tradisional atau budaya daerah jadi salah satu contohnya. "Sekarang kalau ke Yogya, anak saya bisa tiga hari makan gudeg terus," tuturnya menceritakan. Karena itulah Yayuk memilih memfokuskan restorannya pada kuliner lokal, meski masih ada menu seperti pizza dan burger.

Terbukti, kuliner lokal ternyata pun disukai asing. "Nasi jamblang itu orang Korea dan bule pun suka," katanya. Itu bisa jadi salah satu cara mengenalkan budaya kita ke asing. (rsa/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER