Jakarta, CNN Indonesia -- Bila pada umumnya seorang pelukis akan menghadiri atau setidaknya mengusahakan datang di pameran karyanya sendiri, namun tidak demikian dengan Eddy Susanto.
Sosok pelukis asal Yogyakarta ini justru "malas" datang ke acara pameran karyanya sendiri. Padahal karyanya bukan hanya dikagumi awam pencinta seni, melainkan juga Megawati Soekarnoputri.
Mantan Presiden ke-lima Republik Indonesia itu datang di pembukaan karya Eddy,
JavaScript, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya baru pertama kali ini datang ke pameran karya saya," kata Eddy Susanto kepada CNN Indonesia. "Saya nggak mau, ya kayak gini ini, capek," lanjutnya.
Bukan tanpa alasan bila Eddy mengaku lelah. Dalam acara pembukaan
JavaScript, Eddy laris manis didatangi para kolektor, pecinta seni, dan media untuk mulai dari berkenalan, berdiskusi, hingga wawancara atau sekadar berfoto bersama.
Sosok seniman yang baru saja menginjak usia 40 tahun pada 12 Mei lalu ini sudah memamerkan karyanya, sejak 2007, dimulai dari acara
Seabad Pers Kebangsaan yang membahas
Re-Design Front Page Newspaper di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung.
Ia pun telah empat kali menyelenggarakan pameran tunggal, bahkan di Singapura yang bertajuk
Albrecht Durer and the Old Testament of Java di Galeri Michael Janssen.
Namun tak satu pun dari empat pameran tunggal, termasuk yang di Singapura, ia hadiri.
"Pameran ya
biarin saja berlangsung," kata Eddy.
 Pameran JavaScript karya Eddy Susanto menelan biaya Rp 2 miliar. (CNNIndonesia/Endro Priherdityo) |
Meski terkesan cuek, dengan pameran karyanya sendiri, Eddy rupanya menyimpan kepedulian yang besar terhadap lingkungannya.
Ia mengerjakan 50 karya
JavaScript yang menelan biaya Rp 2 miliar ini dengan mengajak pemuda-pemuda di sekitar ia tinggal.
Jangan kira lulusan Desain Grafis Instut Seni Indonesia 1996 ini adalah sosok seperti tokoh dengan rumah yang luas atau semacamnya.
Dalam rumah kontrakan 300 meter persegi yang ia tinggali bersama anak semata wayangnya, Eddy menemukan filosofi kesenian itu sendiri, menghidupkan kehidupan orang lain.
"Di sekeliling rumah itu banyak pemuda yang putus sekolah, dari pada jadi pengangguran, saya ajak ayo kerja bareng-bareng," kata Eddy.
Eddy tak merasa khawatir para pemuda yang tak memiliki pengalaman melukis seperti dirinya mengerjakan proyek seni sekaliber
JavaScript.Seniman yang telah menerima enam penghargaan dan salah satunya adalah penyumbang koleksi seni Museum Kepresidenan Indonesia di Bogor ini menganggap bahwa semua orang dapat melakukan apa pun, bila terbiasa.
Kebiasaan itulah yang diterapkan oleh Eddy. Ia memberikan pengarahan kepada delapan pemuda itu dan membiarkan imaji muda mereka mengunyah arahan Eddy. Bila telah selesai, Eddy hanya cukup memberikan koreksi ataupun menambahkan sentuhan akhir pada karyanya.
"Seseorang melakukan sesuatu itu ada polanya, itu yang saya pelajari," kata Eddy. "Semua bisa kok, saya tidak percaya adanya seseorang yang handal, ia menjadi handal karena ia terbiasa melakukannya, bakat itu hanya satu persen."
Selain ketidak percayaan dengan bakat, dirinya pun tak percaya bahwa seorang seniman harus menjalani sebuah ritual tertentu untuk mendapatkan ide ataupun inspirasi.
 Ide Java Script didapat Eddy Susanto gara-gara hobi membaca. (CNNIndonesia/Endro Priherdityo) |
Ide
JavaScript inipun didapatkan Eddy karena ketertarikannya dengan sejarah dan membaca. Ia rela menghabiskan waktu hingga dua tahun untuk menelusur jejak cerita kitab kuno dan menuangkannya dalam bentuk karya seni.
"Kalau saya pribadi, saya tidak percaya ide itu datang dari merenung, kontemplasi, atau mimpi atau wangsit, kok kesannya eksklusif sekali," kata Eddy.
"Saya tidak percaya, saya percaya ide itu datang dari diskusi, membaca, mendengar, dari siapa saja, dari situ akan keluar ide, ide tidak bergantung pada manusia tetapi manusia yang bergantung pada ide."
Eddy pun memiliki sejarah yang unik hingga dirinya dapat menjadi salah satu seniman yang diakui oleh banyak pecinta seni. Eddy mengaku dirinya menjadi perupa lantaran bosan dengan pekerjaannya.
Selepas lulus Desain Komunikasi Visual ISI, Eddy bekerja sebagai desainer grafis. Namun sekian tahun menjalani hidup "merusak" pesanan orang lain dengan logika
fine art yang ia miliki, Eddy pun memutuskan totalitas sebagai seniman.
"Belajar itu luas sebenarnya, dari mana saja yang saya jalani setiap hari," kata Eddy. "Dan saya akhirnya bosan, menemukan titik jenuh."
Namun tampaknya Eddy belum menemukan titik jenuh lagi setelah menjadi seniman lukis sejak 2007. Karya-karyanya yang menghiasi berbagai galeri hingga Istana Kepresidenan menjadi bukti seseorang yang menjalani filosofi seni dengan jujur dan tanpa dibuat-buat.
(end/vga)