Jakarta, CNN Indonesia -- Rekaman musik di luar negeri semakin menjadi tren belakangan ini. Dewa Budjana rekaman dua albumnya di New York, Nidji di Australia, bahkan /Rif berhasil menginjak studio legendaris Abbey Road di London, Inggris.
Pengamat Bens Leo mengatakan, kecenderungan musisi lokal menginjak studio luar negeri sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Namun, dahulu hanya
mixing dan
mastering-nya saja yang dilakukan di Amerika maupun Australia.
"Karena peralatannya lebih bagus di sana, sedang harganya tidak terlalu mahal," tutur Bens saat dihubungi CNN Indonesia. Poin pertama yang dikejar memang adalah kualitas. Alat-alatnya disebut Bens lebih canggih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proses kerjanya pun dirasa mangkus dan sangkil. "Para musisinya lebih enak diajak bekerja sama. Di sini mengumpulkan orang itu susah, bisa sampai beberapa minggu. Di sana mau cari kelas A, B, atau C mudah saja."
Bukan hanya tersedia sesuai kebutuhan musisi, mereka pun lebih profesional.
Pengerjaannya jadi lebih cepat. Dari situs web resmi Abbey Road misalnya, untuk
mixing online mereka bisa menjanjikan jadi hanya dalam 10 hari. Semua pun dikerjakan profesional.
Selain itu, musisi juga biasanya mengejar kebanggaan atau prestise. "Rekaman di Abbey Road misalnya, bisa jadi pengalaman tersendiri yang butuh diceritakan," tutur Bens. Apalagi studio itu pernah digunakan untuk rekaman musisi-musisi terkenal seperti The Beatles.
Dari auranya saja, lanjut Bens, sudah terasa berbeda. "Bayangkan mereka rekaman di studio yang pernah dipakai musisi internasional. Secara enggak langsung itu akan memberi semangat," ujar Bens. Pengalaman-pengalaman seperti itu nantinya bisa dibawa ke Indonesia.
"Semakin banyak musisi yang merasakan pengalaman rekaman di luar, mereka semakin bisa membawa pengalaman itu jika suatu saat rekaman di Indonesia. Jadi lebih cepat, lebih profesional, lebih bagus," Bens menjabarkan.
Saat ini, ia menilai, secara kualitas alat sebenarnya Indonesia bisa sama. Hanya saja, terkadang itu tidak didukung profesionalisme. Industri musiknya pun belum terlalu "panas."
"Tidak sebagus tahun 2000-an awal. Apa-apa mahal. Penjualan album pun saat itu bisa mencapai dua jutaan. Kalau industrinya membaik, semua bisa lebih baik," tutur Bens.
(rsa/vga)