Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi sebagian pencinta seni, hadirnya kelompok teater musikal mancanegara, yang menyuguhkan lakon legendaris macam
Sound of Music dan
Beauty and The Beast di Indonesia, terbilang menyenangkan.
Selain beroleh pengalaman seru memirsa lakon favorit, juga kepuasan batin. Utamanya karena kelompok teater musikal mancanegara memang piawai meramu alur kisah dengan dukungan properti—dari kostum sampai tata panggung—memadai.
Namun bagi pegiat seni pertunjukan Jay Subiyakto, yang berpengalaman sebagai
art director konser maupun teater musikal, kehadiran kelompok teater musikal mancanegara di Indonesia tak selamanya menyenangkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Buat saya, hal itu merugikan kesenian Indonesia,” kata Jay kepada CNN Indonesia melalui sambungan telepon, pada Jumat (9/10). “Kita cuma hadir sebagai penonton, dan yang ditonton pun bukan kelas satu.”
Ditegaskan Jay, bila gedung pertunjukan di Indonesia hanya terbuka bagi kelompok seni pertunjukan mancanegara, bukannya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, maka lama kelamaan seni pertunjukan Indonesia bakal mati.
“Seharusnya gedung pertunjukan Indonesia lebih banyak menampilkan seni pertunjukan khas Indonesia,” kata Jay. Dengan begitu, kehidupan seniman dan seni pertunjukan Indonesia terus bergeliat dan berkembang maju.
Pria kelahiran Ankara, Turki, ini mencontohkan sikap bijak Pemerintah Jepang dan Korea Selatan dalam membangun infrastruktur demi mempertunjukkan karya seni budaya, sehingga produk domestik macam K-pop bisa mendunia.
Sayangnya, dalam pandangan Jay, sejauh ini Indonesia belum memiliki gedung pertunjukan memadai yang didukung kelengkapan infrastruktur. Ia mencontohkan kesulitan mengganti set properti dengan cepat di arena panggung sempit.
Jay mengaku prihatin, kebanyakan promotor dan penonton malah tak menghargai seni budaya lokal yang kita miliki, padahal pangsa pasarnya tak kalah besar. Terbukti lakon teater musikal
Laskar Pelangi pernah berjaya, bahkan hingga Negeri Jiran.
Sebagaimana dikabarkan sejumlah media massa, tiket lakon teater musikal yang diadaptasi dari novel karya Andrea Hirata itu langsung
sold out pada hari pertama penjualan. Lakon ini dipentaskan di Theater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada 1–11 Juli 2011.
Lakon yang menyedot sekitar 25.000 penonton ini digarap bersama oleh Miles Productions, Link Entertainment, Signature Musik Indonesia, dengan melibatkan Mira Lesmana, Riri Riza, Erwin Gutawa, Hartati, Toto Arto, dan tentu saja Jay.
Jay sendiri memulai kiprahnya, sejak 1990, sebagai sutradara video musik, antara lain untuk musisi Chrisye dan Anggun. Selain dikenal sebagai penata artistik andal, Jay juga berprofesi sebagai fotografer.
Pria berambut panjang ini pernah menjadi penata artistik konser Anggun, Rossa, 3 Diva, Koes Plus, Krisdayanti, Chrisye, serta David Foster bersama Twilite Orchestra. Juga teater musikal
Ariah, Laskar Pelangi, dan
Matah Ati.Senada dengan Jay, Melisa Mangunsong yang kerap menonton aksi teater musikal di Indonesia dan mancanegara pun menilai, tidak perlu mendatangkan artis mancanegara, cukup dengan mendatangkan artis lokal yang memiliki kelihaian dalam berakting.
"Kalau Indonesia ingin menjadi pasar teater musikal, perbanyak gedung dan tempat untuk penyelenggaraannya," kata Melisa saat dihubungi CNN Indonesia, kemarin (10/10). "Masalah teknis juga harus diperhatikan biar semakin rapi pelaksanaannya."
Soal ini Jay berpendapat, “Singapura tidak punya seni budaya asli, tapi punya gedung pertunjukan yang bagus. Masa kita yang punya seni budaya asli begitu kaya dan beragam malah tidak punya gedung pertunjukan yang sama bagus?”
Ditambahkan Jay, kebutuhan seniman lokal bukan sekadar fasilitas gedung pertunjukan yang memadai, melainkan juga biaya sewa terjangkau. Tingginya harga sewa gedung pertunjukan pun bisa mematikan kehidupan seniman dan seni Indonesia sendiri.
Bagaimana tidak, harga sewa gedung pertunjukan yang tinggi itu akan berimbas ke harga tiket pertunjukan. Sementara kebanyakan orang Indonesia enggan membeli tiket pertunjukan yang relatif mahal.
Selain perkara gedung pertunjukan, hal lain yang tak kalah penting adalah meramu kisah yang bisa diterima penonton era sekarang. Bukan semata “tradisional” melainkan ramuan baru yang membuat lakon tradisional tersimak segar dan baru.
“Kita harus mempertunjukkan kesenian kita sendiri. Seni kontemporer, seni zaman sekarang, yang memperlihatkan kemampuan kita sebagai negara maju,” kata Jay yang tak ingin mempertunjukkan seni Indonesia dalam kemasan kuno.
Sependapat dengan Jay, Melisa pun berharap, alur cerita teater musikal atau seni pertunjukan yang dibawakan para seniman harus menarik, karena alur cerita dianggap sebagai daya tarik tertinggi dalam masyarakat.
(vga/vga)