Jakarta, CNN Indonesia -- Musik adalah bagian penting dalam kehidupan. Hampir setiap saat manusia mendengarkan musik, di kala senang maupun sedih.
Tidak hanya sebagai pelipur lara, musik juga dijadikan hobi bagi sebagian orang.
Hobi itu dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang mengoleksi rilisan fisik dalam bentuk piringan hitam atau kaset. Namun, bagaimana dengan nasib cakram padat (CD)?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak yang menganggap bahwa saat ini era CD sudah mati, sedangkan era piringan hitam dan kaset yang dulu sempat padam, kini kembali berkobar.
Banyaknya toko musik besar di Jakarta yang tutup, merupakan bukti bahwa CD tidak lagi dilirik oleh masyarakat luas.
"Yang sedih sama Disc Tarra tutup coba tanya lagi diri ke diri sendiri, emang suka beli rilisan fisik?" tulis Gofar Hilman, penyiar salah satu stasiun radio di Jakarta, dalam cuitan di akun
Twitter-nya pada Jumat (6/11).
"Kalo jarang banget beli CD di Disc Tarra atau bahkan gak pernah, ya jangan lebay. Simpel, toko tutup karena minim pembeli," lanjutnya.
Mungkin beberapa orang masih ada yang membeli CD, namun jumlahnya tidak sebanyak orang yang membeli piringan hitam, kaset atau bahkan musik digital.
Hal itu diakui oleh Samson Pho, selaku pemilik toko musik independen bernama Laidback Blues Record Store yang terletak di Pasar Santa. Ia mengakui bahwa piringan hitam menjadi 'penyelamat' bisnis toko musik independen di Indonesia, khususnya di Jakarta.
"Toko musik besar tidak dapat membaca pasar yang terjadi saat ini," kata Samson kepada
CNN Indonesia ketika ditemui di Jakarta, Kamis (5/11).
Saat ini, piringan hitam atau kaset menjadi rilisan fisik yang paling banyak dicari oleh kalangan masyarakat, terutama anak muda. Namun, sangat disayangkan bahwa toko musik besar tidak menyuguhkan rilisan fisik berbentuk unik itu. Walaupun ada, harganya pun sangat mahal.
"Toko besar tidak menjual piringan hitam atau kaset lagi, mungkin itu menjadi faktor toko musik besar mulai ditinggalkan masyarakat," ujar Samson.
Hal itu tidak hanya terjadi di tanah air saja. Samson, yang mengaku baru pulang dari Jepang untuk mencari rilisan fisik, mengatakan bahwa CD sudah tidak lagi dicari, melainkan piringan hitam dan kaset yang menjadi juaranya.
"Saya baru banget pulang dari Jepang. Di sana CD sudah nggak diminati lagi, piringan hitam dan kaset yang paling banyak diborong," tutur Samson.
"Toko besar tidak menjual piringan hitam atau kaset lagi, mungkin itu menjadi faktor toko musik besar mulai ditinggalkan masyarakat."Samson Pho, pemilik toko musik Laidback Blues Store. |
Selain di Jepang, mengutip pernyataan Samson, di Eropa dan Amerika Serikat kejadian serupa pun terjadi.
Bahkan, budaya membeli CD dianggap aneh bagi masyarakat di sana.
Lebih lanjut Samson menambahkan, CD adalah bentuk fisik dari musik yang sangat mudah untuk dibajak, apalagi di Indonesia.
Budaya buruk pembajakan sudah mengakar dalam masyarakat, yang mengakibatkan toko-toko musik besar menjadi bangkrut dan gulung tikar.
Sedangkan piringan hitam dan kaset sangat sulit untuk dibajak, sehingga para pembajak malas mengopi ulang bentuk rilisan fisik tersebut.
Selain bentuknya yang unik, piringan hitam dan kaset juga dianggap lebih tahan lama dibandingkan dengan CD.
"Piringan hitam bisa bertahan lama, bahkan sudah ada yang berumur 50 tahun tapi masih bisa diputar," ujar Samson.
Menurut pantauan
CNN Indonesia, toko musik independen hampir tidak pernah sepi pelanggannya. Selalu saja ada yang datang walaupun hanya sekedar untuk mampir.
Toko musik independen seringkali mengadakan acara unik yang dapat menarik pelanggan untuk membeli barang-barang mereka.
Sebut saja Pasar Ajojing, suatu acara di Laidback Blues Record Store di mana pelanggan bisa berdansa bersama ditemani alunan musik melalui piringan hitam.
Hal itu dapat dijadikan alasan lain mengapa toko musik besar mulai ditinggalkan banyak pelanggannya.
Toko musik besar cenderung pasif dan tidak mengadakan acara-acara unik yang dapat menjadi daya tarik di mata masyarakat.
(ard)