Jakarta, CNN Indonesia -- Belum genap tiga bulan anak-anak sanggar tari Yayasan Ciliwung Merdeka mengenal balet. Saat seorang balerina Australia, Juliet Burnett berkunjung Agustus lalu, mereka baru melihat tarian magis itu.
"Kok bisa berdiri di ujung kaki? Sakit tidak Kak?" tanya mereka polos, waktu itu.
Juliet ditemani Mariska Febriana dari Ballet ID mengajarkan mereka gerakan-gerakan dasar. Setelah Juliet kembali ke Australia, tim Ballet ID meneruskan perjuangannya di bantaran kali Ciliwung. Setidaknya seminggu sekali, mereka belajar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, waktunya Mariska dkk menuai hasil yang mereka tanam. Memasuki bulan ketiga latihan, para penari cilik Ciliwung itu dihadapkan pada pertunjukan besar, "Ballet at Kunstkring Series: Healing HeARTs."
Ini kesempatan pertama anak-anak Ciliwung menunjukkan apa saja yang sudah mereka pelajari selama ini. Kendati masih seumur jagung, Mariska yakin para penari balet cilik itu bisa melakukannya dengan baik.
"Keuntungannya selama ini mereka terbiasa mendengar musik dan sudah menari. Pada dasarnya tiga atau empat bulan sudah bisa kelihatan perkembangannya, meski belum bisa dikatakan mahir," kata perempuan yang sudah menari balet sejak 18 tahun lalu itu.
Sebelum mengenal balet, anak-anak dari Sanggar Ciliwung Merdeka memang sudah akrab dengan gerakan tari dan irama musik. Hanya saja, biasanya mereka menari tradisional.
Anak-anak penari balet Ciliwung direncanakan tampil pada 28 November mendatang di Tugu Kunstkring Paleis. Mereka membawakan balet yang sudah dimodifikasi dengan tari tradisional, Sunda khususnya.
Diiringi lagu berjudul Ciliwung Larung hasil karya mereka sendiri, 12 anak itu akan pentas selama kurang lebih enam menit. Mereka akan membawakan sebuah cerita tentang kehidupan di Sungai Ciliwung.
"Tariannya menceritakan melarung kesedihan mereka di ciliwung. Dengan semua kegetiran hidup yang ada, semua masih bisa berkarya. Mereka menggunakan kain sebagai bentuk lambang sungai ciliwung," ujar Mariska.
Bagi anak-anak di Ciliwung, balet memang salah satu sarana pelipur lara. Begitu banyak terpaan hidup yang haris mereka hadapi, termasuk penggusuran belum lama ini. Kemiskinan pun jadi satu masalah.
Tapi dengan menari, mereka jadi bahagia dan tidak meratapi kesedihan hidup.
Balet romantis dan perang dunia Selain pertunjukan balet tradisional dari anak-anak Ciliwung, "Ballet at Kunstkring Series: Healing HeARTs" juga dimeriahkan pebalet lain. Salah satunya pertunjukan balet romantis yang juga pelipur lara.
Balet itu digunakan sebagai "pemulih" setelah masa perang dunia berakhir.
Tabita Malat dari Ballet ID bercerita, tarian ini dipelopori di Denmark oleh seorang pria yang pernah belajar menari di Opera Paris bernama August Bournonville. Di sana, ia juga belajar soal balet.
 Juliet Burnett saat mengajar balet di tepi kali Ciliwung. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Kendati Denmark menang perang, tapi Bournonville tetap merasa ada yang kurang. Meski orang-orang bahagia, jauh di dalam hatinya Bournonville tahu betul kemenangan tidak menentukan kebahagiaan seseorang.
Ia merasa situasi dunia yang sedang mencekam karena kondisi perang itu butuh sesuatu yang indah dan cantik agar tetap hidup. Akhirnya, Bournonville pun membuat sebuah tarian yang terinspirasi dari balet.
Tarian itu menjadi balet khas Denmark. Orang-orang menyebutnya "balet romantis."
Berbeda dengan balet klasik yang seolah menggambarkan keindahan angsa, balet Denmark lebih menggambarkan kecantikan para peri. Hal ini terlihat dari gerakan ringan yang melayang-layang nan lembut.
Balet romantis juga identik dengan gerakan kaki kecil-kecil dan cepat. Busana yang digunakan pun lebih pada rok panjang, bukan rok tutu yang pendek seperti balet biasa.
Balet romantis dari Denmark itu baru pertama ditampilkan di Indonesia. Tepatnya di Institut Kesenian Jakarta, bersamaan kedatangan Ratu Denmark belum lama ini.
Selain tarian dari Ciliwung dan romansa ala Bournonville, "Ballet at Kunstkring Series: Healing HeARTs" juga menampilkan balet klasik bernuansa Sunda dengan tajuk "Kabayan dan Iteung pas de deux" yang akan dibawakan oleh Marlupi Dance Academy.
Ada juga penampilan Ikatan Terapi Musik Indonesia (ITMI) yang berkolaborasi dengan Ballet ID serta EKI Dance Company, diiringi musik live dari piano dan biola yang menekankan kekuatan seni sebagai penyembuh.
Pentas balet pelipur lara itu digelar dua kali pada 28 November mendatang. Pentas pukul 13.00 WIB dengan tiket Rp250 ribu atau pukul 19.00 WIB seharga Rp300 ribu.
(rsa/rsa)