Teguh Karya dan Karya Abadi Lintas Generasi

Dedy Sofan | CNN Indonesia
Jumat, 11 Des 2015 19:41 WIB
Sutradara legendaris Teguh Karya patut menjadi panutan lintas generasi di ranah teater, film dan televisi Tanah Air.
Ilustrasi: Aksi Teater Koma, pimpinan Nano Riantiarno, salah seorang murid Teguh Karya. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tepat pada hari ini (11/12), 14 tahun lalu, Indonesia kehilangan sosok berharga di industri seni budaya: Teguh Karya. Sang maestro mangkat di usia 64 tahun di Jakarta.

Semasa hidupnya, karya dan prestasi sineas kelahiran Pandeglang, 22 September 1937 ini tak sebatas menyita perhatian dunia perfilman nasional, melainkan juga internasional.

Kiprah Teguh sebagai sutradara film dan teater tidak diragukan lagi. Latar belakang pendidikan sinema plus pengalaman sebagai praktisi kegiatan seni menjadi “amunisi” selama meniti karier.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sepanjang dua dekade, era 1970-1990-an, ia telah melahirkan sederet karya abadi, antara lain film Badai Pasti Berlalu (1977) sampai Ibunda (1986) yang meraih banyak Piala Citra FFI.

Editor dari buku Tionghoa dalam Keindonesiaan :Peran dan Kontribusi bagi pembangunan Bangsa, Didi Kwartanada mengungkapkan pentingnya Teguh menjadi panutan lintas generasi.

“Hal ini terbukti dengan banyaknya sosok anak didik dari Teguh, yang hingga saat ini menjadi tokoh yang disegani di dunia seni dan budaya Indonesia,” ujar Didi kepada CNN Indonesia (11/12).

Sebut saja, kata Didi, Slamet Rahardjo, Henky Solaiman, juga George Kamarullah yang mampu mengukir namanya sendiri dan tentu saja tidak lepas dari jasa dari Teguh Karya.

“Efeknya, ia melahirkan seniman-seniman yang selaras dengan pemahamannya,”jelas Didi seraya menyebut Teguh sebagai, “Pribadi banyak ilmu yang tidak pelit untuk membaginya.”

Hal senada pun diungkapkan oleh Anggy Umbara, generasi baru sutradara yang telah merilis karya seperti Mama Cake dan Comic 8: Casino Kings. Ia memandang penting sosok Teguh.

“Kualitas film milik Teguh Karya, tetap bisa dinikmati hingga saat ini. Hal ini menjadi bukti bahwa ia berhasil menciptakan karya yang berkualitas,” ujar Anggy kepada CNN Indonesia (11/12).

Peran Teguh, diyakini Anggy, juga semakin besar dan penting dalam memajukan dan membentuk identitas perfilman Indonesia. Dalam pandangannya, Teguh adalah contoh bagi sutradara baru.

Dikatakan Anggy, industri perfilman Indonesia era Teguh memiliki identitas yang menjadi kebanggaan. Masyarakat menikmati film Indonesia sebagai hiburan yang selalu menarik perhatian mereka.

“Saat ini, Indonesia bagai krisis identitas, invasi budaya asing dan informasi, banyak memberikan pengaruh. Sehingga tidak sedikit karya film yang memiliki cita rasa yang bercampur dengan identitas negara lain,” kata Anggy.

Untuk itu, menurut Anggy, sineas generasi baru perlu mengambil intisari dari para sineas era 1970-1980-an termasuk Teguh dalam menciptakan film. Begitu juga di kalangan teater.

Sebagaimana diketahui, jauh sebelum menggarap film, Teguh lebih dulu aktif di teater. Sejak 1968, ia telah memimpin Teater Populer, yang biasa manggung di Hotel Indonesia, Jakarta.

Barulah pada 1971, Teguh menggarap film pertama, Wajah Seorang Laki-laki. Meski begitu, kehidupan Teguh tetap tak terpisahkan dari dunia seni pentas: teater, film dan televisi.

Sebagaimana tertulis di website resmi Teater Populer, banyak nama “alumnus” yang mencuat lewat Teater Populer, antara lain Slamet Rahardjo Djarot, Christine Hakim, Alex Komang.

Diakui pegiat teater Yudi Ahmad Tajudin, kiprah dan sikap Teguh—termasuk pengetahuan dan dispilin—di dunia teater menjadi inspirasi bagi generasi baru dalam menyikapi teater.

”Kita ingin membangun teater, tapi tidak ada tempat, makanya kita membangun lingkungan teater,” kata sang Direktur Artistik Teater Garasi kepada CNN Indonesia (11/12), menirukan pernyataan Teguh.

Sikap dan kiprah Teguh menanamkan kekaguman tersendiri bagi Yudi. “Bahkan dalam penyutradaraan teater, ia memiliki gayanya tersendiri. Gaya teater realis Teguh Karya,” katanya.

Maka tak berlebihan bila Teguh layak disebut pionir. Demikian pujian yang dilontarkan oleh Ratu Selvi Agnesia, pegiat dan pengamat dunia teater, kepada CNN Indonesia (11/12).

”Kreativitas, konsistensi, dan imajinasinya luar biasa, yang dibalut dengan disiplin yang menjadi ciri khasnya,” kata Selvi. Namun ia menyayangkan Teater Populer belum mengalami regenerasi.  

“Setelah era Slamet Rahardjo, panggung Teater Populer belum memunculkan nama-nama baru yang membawa visi dari Teguh Karya,” kata Selvi yang juga aktif menulis untuk laman Akar Padi News.

Sejauh ini, hanya Nano Riantiarno dari Teater Koma, eks murid Teguh yang setia mengestafet warisan Teguh: mementaskan teater di luar panggung teater, seperti hotel atau gedung pertunjukan lain.

Hingga kini, Teater Koma aktif berpentas, antara lain di Museum Nasional lewat agenda Teater @ Museum, juga pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. (vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER