Jakarta, CNN Indonesia -- Sitor Situmorang dan Pasar Senen bagaikan gigi dengan gusi. Dekat sekali. Senen adalah pasar. Pasar dalam tradisi Batak, yang disebut onan, adalah ruang kerakyatan tempat elite membina inspirasi dan aspirasi, bahkan memulai revolusi.
Di onan-lah seorang janda mengumumkan siap dipinang lagi, dengan menyelipkan seranting beringin di sela rambutnya. Seorang yang lahir dan menjadi anggota marga baru juga diumumkan di onan.
Pun agama baru yang lahir diumumkan di onan, misalnya agama Parbaringin. Bahkan perang Batak yang memunculkan nama Sisingamangaraja XII timbul karena onan, sebagai sakaguru sistem tatahukum, dirusak pemerintah kolonial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarawan J.J. Rizal menguraikan hal tersebut dalam
Pasar Senen, Sitor, dan Harimau Tua, acara yang menandai satu tahun wafatnya Sitor Situmorang (2 Oktober 1924-20 Desember 2014) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, pada Rabu (20/1) malam.
Sitor, yang anak kepala adat, pergi ke Betawi pada Juli 1941 dalam usia 18 tahun, dengan membawa konsep onan di kepalanya. Dia mencari onan di Betawi dan menemukannya di Pasar Senen, yang menurut Sitor dalam autobiografinya, adalah pusat mahasiswa dan pelajar, tempat mereka belanja dan berkencan.
Sitor kost di daerah Bungur, pinggiran Pasar Senen. Dengan harga sewa 15 gulden, dia dapat kamar cukup bagus. Sitor juga punya sepeda untuk bersekolah di Salemba.
Setiap usai sekolah, Sitor mengayuh sepedanya ke Pasar Senen, ke kantor sebuah harian nasionalis pimpinan Parada Harahap,
Bintang Timur. Di sana, dia membaca koran yang ditempel di depan kantor redaksi, untuk dibaca umum.
Jepang masuk, sekolah Sitor berantakan, tapi cita-citanya kesampaian, yakni jadi jurnalis. Namun Sitor tidak jadi jurnalis di Pasar Senen, melainkan di Pasar Sentral, Medan, di
Harian Waspada pimpinan Mohammad Said.
Said, ujar Rizal, menyebut Sitor mutiara terpendam di pedalaman Sumatra di masa revolusi. Said kemudian mengirim Sitor kembali ke Betawi.
Saat itu, baru Proklamasi, Jakarta ditinggalkan, memasuki Zaman Bersiap, artinya zaman siap mati dan siap bertempur, yang sama juga revolusi. Sitor kemudian pergi ke Yogyakarta, menyusul ibu kota yang pindah.
Sitor ditangkap dan dipenjara di Wirogunan bersama beberapa pejabat republik. Setelah kembali ke Jakarta, dia kembali ke Pasar Senen. Sitor kini berevolusi, dari wartawan jadi sastrawan.
“Sitor, seperti banyak penyair, sering 'berdusta.' Salah satu dustanya adalah tidak mengakui dia menjadi penyair di Pasar Senen,” ujar Rizal.
Pasalnya, Sitor mengaku jadi penyair di Kaliurang, dataran tinggi di sekitar Magelang yang romantis, dan tak pernah mengakui lahir sebagai penyair di Pasar Senen. Namun Rizal menemukan informasi bahwa empat sajak pertama Sitor lahir di Pasar Senen, dan tentang Pasar Senen.
Selain itu, seolah-olah dia sibuk dengan revolusi seorang diri, padahal selain seorang diri, dia juga sibuk dengan revolusi bersama.
Sitor terlibat dalam kelompok seniman Gelanggang Merdeka yang berusaha merumuskan kebudayaan modern Indonesia bersama, di antaranya Chairil Anwar dan Asrul Sani. Generasi itu kemudian pecah oleh orientasi politik yang berbeda.
Seniman Senen kemudian melegenda bersama tokoh-tokohnya, seperti SM Ardan, Ajip Rosidi, Soekanto SA, Soekarno M. Noor. Generasi ini sudah hilang bersamaan digusurnya Pasar Senen.
Tak ada lagi Pasar Senen sebagai ruang kerakyatan tempat elite bergaul, menimba inspirasi dan aspirasi. Suatu ruang yang penuh imajinasi telah tamat. Suatu medan revolusi telah berakhir. Bahkan cita-citanya dimatikan di tengah kekuatan yang berusaha menghidupkan revolusi.
Kematian Sitor Situmorang mengakrabkan hidup Pasar Senen sebagai kawasan historis yang kaya. Pasar Senen juga dapat menjadi pintu merayakan suatu generasi perumus pertanyaan-pertanyaan besar sekaligus jawaban persoalan keindonesiaan dan kebudayaan modern yang sejak Proklamasi abai diurus negara.
(vga)