Jakarta, CNN Indonesia -- Angga Dwimas Sasongko membuka perusahaan film sendiri sekitar 2008. Modalnya nol rupiah. Berkantor di garasi rumah sahabatnya, Angga hanya punya dua meja kayu jati. Keduanya hadiah dari sang ayah.
"Itu pun dia dapat dari pabrik furnitur dia yang bangkrut. Jadi sisaan," cerita Angga saat berkunjung ke kantor redaksi CNN Indonesia.com, beberapa waktu lalu.
Ia berbisnis dengan modal ide dan skenario. Keliling ia "menjajakan" itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun lihatlah Angga sekarang. Sutradara yang sedang naik daun itu sudah menghasilkan beberapa film ternama. Film pertamanya,
Foto Kotak dan Jendela (2006). Dari situ, Angga lanjut membuat
Jelangkung 3, Garuda Muda, dan
Hari untuk Amanda.Sejak
Hari untuk Amanda (2009) meraih delapan nominasi Piala Citra, Angga semakin serius. Ia menelurkan film secara rutin namun tetap menyentak. Pada 2013, ia punya
Cahaya dari Timur: Beta Maluku.
Film itu ditabalkan sebagai Film Terbaik Festival Film Indonesia pada 2014. Tahun lalu, Angga punya Filosofi Kopi. Kini, ia baru merilis drama cinta berbalut sejarah tragedi 1965,
Surat dari Praha.
Angga mengaku menyukai film sejak lulus SMA. Saat masih di bangku sekolah menengah itu, Angga menyukai fotografi. "Itu hobi saya dari SMA, saya juga bisa menghasilkan uang dari foto," Angga menjelaskan.
Namun saat harus melanjutkan ke pendidikan tinggi, ia justru memilih bidang jurnalisme penyiaran dan politik. Sebab, pria 31 tahun itu beralasan, bersekolah film saat itu terbilang sangat mahal.
"Salah satu yang membuat saya kerja di film karena karena butuh dukungan keuangan pribadi," tutur Angga dengan jujur. Berkat film dan foto, ia mengklaim mandiri secara keuangan sejak tahun pertama kuliah.
"Saya mau bikin film dan dapat duit," ujarnya lagi, sembari berseloroh. Baginya, film merupakan ruang berkreasi sekaligus mencari nafkah. Tiga film Indonesia yang membuat Angga terpesona adalah
Tjoet Nja' Dhien (Eros Djarot),
Eliana, Eliana (Riri Riza), dan
Berbagi Suami (Nia Dinata).
Film-film Angga, yang juga mengaku sebagai aktivis semasa kuliah, bisa dibilang berbeda. Ia selalu menyisipkan konflik kekinian. Di
Cahaya dari Timur: Beta Maluku, misalnya, ada konflik agama yang menyulut masalah besar di Ambon.
Filosofi Kopi, selain bicara kopi dan bisnis serta hubungan anak muda, juga menampilkan sedikit konflik agraria.
Surat dari Praha bicara soal tragedi 1965.
Sebagai sutradara, kata Angga, ia memang menganggap film adalah monumen zaman. Ketika 10 tahun lagi, misalnya, ada yang menonton salah satu filmnya, mereka akan melihat kondisi sebenarnya pada masa itu.
"Penting agar setiap film sebagai monumen, punya kedekatan terhadap isu kekinian," ujar Angga menegaskan. Meski, dengan begitu ia sadar filmnya tidak akan terlalu komersial dan punya sejuta penonton.
Film-filmnya tak masuk 10 besar terlaris setiap tahun, dari segi jumlah penonton. Angga menyadari, memang tak tahu formula film agar laku dan disukai penonton. Ia tak muluk-muluk berharap sejuta penonton.
"Tapi saya mengerti bagaimana membuat film yang bisa merangkum pernyataan yang ingin saya keluarkan. Saya tahu cara membuat film yang bisa punya isu," tuturnya lagi.
Meski begitu, Angga tetap mencintai bisnis film, tempat ia menuangkan ide sekaligus mencari nafkah. Sebab di luar film, ia berusaha secara kreatif membuat model bisnis yang bisa menyokong usahanya.
"Buat kami (Visinema Pictures) yang penting bukan jumlah penonton, melainkan neraca bisnisnya," kata Angga menegaskan.
Dengan model bisnis kreatif di luar film, perusahaannya bisa tetap melangkah maju secara bisnis. Itulah yang ia "jual" kepada investor. Angga tak menjanjikan filmnya laku, tapi tetap menguntungkan.
Dengan semangat itu, Angga tetap bisa menikmati manis berbisnis film. Namun pria yang pernah berbisnis mebel itu tidak bersedia memaparkan kesuksesannya lebih jauh.
(rsa/vga)