Kisah Pilu Eksil 1965 yang Melatari 'Surat dari Praha'

Fadli Adzani | CNN Indonesia
Selasa, 26 Jan 2016 11:40 WIB
Saat tragedi 1965 meletup di Indonesia, Ronny Marton termasuk yang tak bisa pulang dari Praha. Kewarganegaraannya bahkan dicabut. Ronny Marton, mahasiswa Indonesia yang "terjebak" di Praha sejak 1965. (CNN Indonesia/Fadli Adzani)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ronny Surjomartono alias Ronny Marton sedang berada di Ceko saat kudeta 1965 terjadi di Indonesia. Pemuda Solo, Jawa Tengah, itu tengah berjuang menuntaskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Praha, jauh dari rumah.

Ia berangkat pada September 1963, saat masih menjadi mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Demi beasiswa di luar negeri, Ronny merelakan statusnya sebagai mahasiswa UGM. "Saat itu sedang ramai ada pengumuman yang disebarkan ke seluruh Indonesia bahwa ada kesempatan untuk belajar di luar negeri," ujar Ronny.

Yugoslavia, Rusia, Republik Ceko, membuka pintu lebar-lebar untuk pelajar Indonesia.

Beberapa jurusan yang bisa dipilih seperti Ekonomi, Listrik, Sastra, dan lain-lain. Ronny sendiri memilih Ekonomi. Baru semester dua, ia mendengar kabar duka dari tanah kelahirannya. Jutaan orang dihilangkan hanya karena cap komunis.

Ia sendiri bukan komunis. Tapi Ronny tak menolak disebut Soekarnois. "Dari dulu, lingkungan saya membuat saya mengidolakan Soekarno. Saya sering mendengar pidato Bung Karno. Dia sangat berkesan, walaupun memiliki banyak kesalahan, dia tetap orang hebat. Pokoknya tidak bisa diuraikan lah rasa cinta saya terhadap Indonesia saat itu," ia mengungkapkan kecintaannya.

Saat pemimpin pertama Indonesia itu digulingkan dan diganti Soeharto, Ronny khawatir untuk pulang. Ia mendengar Orde Baru banyak menjebloskan orang tak berdosa ke penjara, bahkan tanpa diadili.

Pria yang kini berusia 72 tahun itu pun bimbang di antara dua pilihan. Pulang, dengan konsekuensi menjadi tahanan politik kategori C karena dianggap komunis dan pendukung Soekarno. Atau tetap di Ceko menuntaskan kuliahnya. Tapi, ia tak diakui lagi sebagai warga negara Indonesia.

Mata Ronny baru terbuka setelah tahu kepemimpinan Soeharto banyak berlaku tak adil. Keputusannya tinggal di Praha semakin mantap. Ia memilih untuk tidak kembali ke rumah demi mempertahankan idealisme dan patriotismenya. Sejak saat itu, lambang garuda di dadanya dicabut.

Ronny dan beberapa teman lainnya tak memiliki kewarganegaraan. Ia berlindung di bawah palang merah internasional selama bertahun-tahun. "Saya sangat depresi ketika menjadi orang tanpa kewarnegaraan, saya merasa dicaplok dari akarnya. Saya mengikuti berita Indonesia dari Praha."

Rindu kepada keluarganya di kampung halaman pun terus menghantui. Tak terhitung jumlah surat yang ia kirimkan untuk mereka. Meski jauh di dalam hatinya, Ronny sadar tak satu pun surat itu yang akan sampai di tangan keluarganya di Solo.

Tahun demi tahun berlalu. Meski tak punya kewarganegaraan, Ronny berhasil mendapatkan gelar S1 dan S2 Ekonomi dari Praha. Selama kuliah, ia hidup dari uang beasiswa. Usai itu, ia mencari-cari kerja sekaligus bermusik dengan teman-temannya.

Ronny memang berbakat seni. Sejak kecil ia sering keliling kampung dan bermusik dari kampus ke kampus. "Ketika saya masih di Solo, saya punya band gambus. Lalu juga ada band pop, tapi saat itu belum disebut pop, melainkan musik hiburan," katanya.

Dengan bakat bernyanyi itu, Ronny mulai menciptakan lagu-lagu berbahasa Ceko. Salah satunya, Žiji V Praze Devet Let. Hidup Ronny pun membaik. Ia bahkan beristri seorang perempuan Ceko yang merupakan teman sebangkunya saat kuliah. Bersamanya, Ronny kini punya tujuh cucu.

[Gambas:Youtube]

Seiring waktu yang terus berputar, rezim di Ceko pun berganti menjadi demokrasi. Momen itu dijadikan sebagai kesempatan bagi para korban 1965 yang tak bisa pulang ke Indonesia untuk segera mendaftarkan diri menjadi warga negara Republik Ceko.

"Saya mulai mendapatkan kewarganegaraan Ceko pada 1991," tutur Ronny menjelaskan.

Tujuh tahun kemudian, ia mendapat kabar besar lagi dari Tanah Air. Pada 1998, rezim Soeharto digulingkan mahasiswa. Orde Baru tak lagi berkuasa. Ronny memanfaatkan kesempatan itu untuk pulang ke Indonesia. Namun kini ia sudah menjadi orang Ceko.

Kali ini, 2016, Ronny kembali bukan sekadar menyambangi kampungnya. Ia juga hadir dalam pemutaran perdana film terbaru Visinema Pictures, Surat dari Praha. Film garapan Angga Dwimas Sasongko itu terinspirasi kisah mahasiswa ikatan dinas seperti Ronny yang "terjebak" di Praha.

Salah satu adegan "Surat dari Praha." (Dok. Visinema Pictures)
Namun, Angga dan tim membungkusnya dengan kisah cinta. Seorang mahasiswa berangkat ke Praha, meninggalkan perempuan yang dicintainya di Indonesia. Berjanji untuk kembali, namun tak pernah bisa ditepati.

Dalam film yang akan dirilis 28 Januari itu, Ronny ikut menjadi salah seorang pemain. Adegannya tidak banyak memang. Ia bernyanyi di sebuah bar dan berbincang-bincang bersama bintang utama, Tyo Pakusadewo dan Julie Estelle. Itu cukup bagi Ronny untuk mengenang 1965 silam.

Ia bahkan tak bisa menahan air mata ketika menyaksikan film itu untuk pertama kalinya di Epicentrum, pada Senin (25/1). Ronny menangis, karena merasa seperti dibawa kembali ke masa-masa ia harus merasakan pedihnya tak memiliki kewarganegaraan.

"Saya meneteskan air mata, saya merasa saya berada di dalamnya. Sungguh, saya memang melankolis," ungkap Ronny lagi. (rsa/vga)
Lihat Semua
SAAT INI
BERITA UTAMA
REKOMENDASI
TERBARU
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
LIHAT SELENGKAPNYA

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

TERPOPULER