ULASAN FILM

Drama 'Tanggung' dari Praha

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Jumat, 29 Jan 2016 13:41 WIB
Surat dari Praha menyuguhkan cerita yang tersisa dari tragedi 1965, dan dibalut dengan kisah cinta. Namun penyajiannya terasa hambar.
Poster Surat dari Praha. (Dok. Visinema Pictures)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hanya ada dua pilihan bagi Mahdi Jayasri (Tyo Pakusadewo) saat tragedi 1965 terjadi di Indonesia. Ia mahasiswa Nuklir di Praha. Dirinya masih di tengah studi.

Peristiwa 1965 terjadi baru beberapa lama setelah dirinya mendapat beasiswa ke Praha, jauh meninggalkan Indonesia.

Jaya bisa saja pulang. Tapi ia harus menerima Orde Baru dan Soeharto. Atau, dipenjara sebagai tahanan politik kategori C. Pilihan lain, ia menetap di Praha.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jaya memilih yang ke-dua. Namun konsekuensi pun harus ia terima. Kewarganegaraannya dicabut. Selain itu, ia juga tak bisa memenuhi janjinya pada sang pujaan hati, Sulastri (Widyawati).

Ada tiga janji Jaya pada Sulastri sebelum berangkat ke Praha. Pertama, segera pulang. Kedua, menikahinya. Dan ke-tiga, mencintainya selamanya. Ternyata hanya yang terakhir yang mampu Jaya lakukan.

Buktinya, bombardir surat yang ia kirim pada Sulastri. Jaya bercerita soal kerinduan, sampai burung yang ia temui di taman. Tapi Sulastri tak pernah membalas.

Ketika Jaya akhirnya berhenti bersurat dan mengikhlaskan semuanya, ia justru kedatangan tamu tak diduga dari Indonesia.

Seorang gadis, Kemala Dahayu Larasati (Julie Estelle), yang membawa kabar duka. Bukan hanya kabar, ia juga membawa kenangan dan luka yang tersimpan dalam sekotak surat-surat Jaya dari Praha.

Pertemuan mereka membuat hari-hari Jaya berbeda. Meskipun, tak dapat dipungkiri ketegangan di antara keduanya naik turun.

Angga Dwi Sasongko, sutradara di balik film seperti Cahaya dari Timur dan Filosofi Kopi, terinspirasi membuat film itu berdasarkan cerita yang nyaris tak pernah terungkapi dari tragedi 1965.

Yakni tentang mahasiswa yang benar-benar terjebak di negeri orang saat peristiwa 1965 terjadi. Bukan mereka yang mengasingkan diri, tetapi memang terasing. Ide yang patut diacungi jempol.

"Mereka itu mahasiswa ikatan dinas yang dikirim Soekarno dari 1958," ujar Angga pada CNN Indonesia beberapa waktu lalu.

Ia meneruskan, setelah ditelusuri para mahasiswa itu sama sekali bukan komunis. "Tapi mereka mendapat perlakuan, stigma, dan ketidakadilan yang sama," ujarnya.

Sebagai pembuat film yang juga pencinta sejarah serta pemerhati politik, Angga melihat itu sebagai narasi kecil yang tidak terungkap. Sementara publik sekarang meributkan perlunya rekonsiliasi 1965.

Ia lantas berupaya memberi ruang, lewat film terbarunya, Surat dari Praha.

Sayang, film itu seperti terjebak pada konflik sekunder yang dibuat muncul ke permukaan, yakni antara Jaya dan Laras. Hubungan mereka dikisahkan terlalu kompleks, bahkan lebih rumit dari kegelisahan hati Jaya untuk Lastri.

Mereka dikisahkan dengan penuh gejolak. Mulai penolakan mentah-mentah, perasaan tidak tega meninggalkan anak gadis dari perempuan yang dahulu dicintainya, kemarahan, sampai kembali harmonis.

Namun mengingat gembar-gembor Surat dari Praha sebelumnya, penonton akan berekspektasi itu film yang mengisahkan percintaan dengan pendekatan sejarah.  Pendekatan itu kurang terlihat.

[Gambas:Youtube]

Surat dari Praha memang melibatkan sosok eksil 1965 sungguhan. Mereka diberi porsi adegan bercerita masa lalu, bahkan tanpa skenario. Namun itu kurang menggambarkan perjuangan mereka tanpa kewarganegaraan.

Mereka belum cerita soal stigma dan ketidakadilan yang didapat karena dicap PKI padahal mereka hanya nasionalis.

Dialog-dialog kelamnya nasib mahasiswa yang terjebak di Praha, seharusnya bisa lebih keluar dari mulut Jaya saat ia menikmati hari-hari bersama Laras.

Namun dialog saat itu justru kurang "nendang." Jaya hanya bercerita ia harus melanjutkan hidup, meski menjadi seorang pembersih dengan gelar Sarjana Nuklir. Pun soal menerima berita kematian orang tua.

Penonton kurang menangkap bagaimana perjuangannya yang tanpa kewarganegaraan saat itu. Bagaimana ia beradaptasi dengan Praha, mengatasi kesepian yang hanya ditemani seekor anjing bernama Bagong.

Tapi mereka mendapat perlakuan, stigma, dan ketidakadilan yang sama [seperti PKI].Angga Dwimas Sasongko
Tanpa konteks sejarah yang kental, film itu tak ubahnya seperti drama percintaan yang tanggung. Ada kasih yang tertunda selama puluhan tahun dan hubungan orang tua-anak yang tak jelas buntutnya. Namun status eks mahasiswa yang eksil sekilas hanya terlihat ala kadarnya.

Padahal dengan riset yang diakui Angga lama dan mendalam, seharusnya film itu bisa lebih memberi konteks yang lengkap sehingga penonton muda tak ahistori.

Traumatis Jaya pada pemerintahan baru yang menamakan Orde Baru, dengan caranya tak mau masuk KBRI di Praha dan tak ingin pulang ke Indonesia, memang bisa terlihat. Namun mungkin hanya oleh sebagian yang memahami konteks sejarahnya, tak semua.

Adanya musik, sama-sama kecintaan Jaya dan Laras pada musik, pun terlalu dipaksakan karena kurang membuat film itu bermakna. Belum lagi dialog dan sorotan pada produk sponsor yang dimasukkan di adegan film.

Bukan hanya itu, pertemuan Jaya dan Laras dan hari-hari mereka di Praha seperti kurang "dahsyat." Pertemuan itu hanya mengobati masalah satu pihak. Hubungan Jaya dan cinta sejatinya, Lastri.

Sementara Laras dengan konflik pribadi soal perceraiannya, tak selesai. Sepertinya, tanpa konflik itu di awal pun, cerita Surat dari Praha tetap bisa berjalan. Toh, suami Laras (Chicco Jerikho) hanya dimunculkan sekali saja.

Karya Angga sebelumnya, Cahaya dari Timur: Beta Maluku justru terasa lebih memuaskan. Penonton tahu benar itu soal agama. Mereka pun bisa ikut tersentuh saat umat Muslim ikut menonton pertandingan sepak bola tim Maluku di gereja, begitu pula sebaliknya.

Cerita humanisme konflik yang khas dari Angga dan penulisnya, Irfan alias Ipang kurang menyentuh di Surat dari Praha.

Julie Estelle di Surat dari Praha. (Dok. Visinema Pictures)
Beberapa novel yang mengulik cerita serupa, percintaan di tengah konflik 1965, seperti Amba, Pulang, dan Gema Sebuah Hati, justru terasa lebih menyentuh.

Tetapi setidaknya, Surat dari Praha dihidupkan oleh akting Tyo. Seperti biasanya, aktor kawakan itu tampil meyakinkan dengan perannya. Ia memainkan eksil yang terasing, dari negara, hidup, bahkan cinta, dengan sangat apik.

Terutama soal kemarahan. Tyo menjiwai kemarahan yang sama terhadap pemerintah baru, seperti Jaya dan mahasiswa dinas lainnya. Tapi sayang, kurang dijelaskan penyebab kemarahan itu. Hanya karena Soekarnois dan nasionalis, atau memang menyadari betul ketidakadilan Orde Baru?

Paduan akting Tyo dan Widyawati menjadi hal yang ditunggu, namun tak bisa dilihat dalam film ini. Alih-alih, justru Tyo dan Julie yang lebih banyak dieksplorasi.

Film ini seperti terlalu memadatkan banyak konflik, namun kurang didukung kesetiaan pada satu sudut pandang. Meski begitu, Surat dari Praha, seperti kata Angga, masih bisa menjadi pemantik untuk membicarakan masa lalu yang terlupa.

Surat dari Praha dijadwalkan tayang di bioskop pada 28 Januari 2016, dibintangi Julie, Tyo, Widyawati, Chicco, dan Rio Dewanto. Beberapa eksil 1965 pun terlibat di dalamnya, seperti Ronny Marton. (rsa/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER