Jakarta, CNN Indonesia -- Jazz sudah berkembang di Indonesia sejak era Kemerdekaan. Dua dekade belakangan ini, acara jazz makin marak. Sebut saja, Jazz Goes to Campus, Jazz Gunung, hingga Java Jazz Festival yang sebentar lagi digelar.
Kenyataannya, tak semua orang bisa menikmati jazz. Berbeda halnya dengan pop atau dangdut. Maka tak heran bila kemudian muncul anggapan musik ini hanya diciptakan untuk masyarakat kalangan tertentu.
Namun anggapan ini dinilai keliru sekaligus merugikan oleh Adra Karim, pemain keyboard grup band fusion jazz Tomorrow People Ensemble, yang juga pengajar Institut Musik Daya Indonesia di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa harus ada yang
nentuin aliran musik apa yang berhak
didengerin oleh orang di setiap kalangan?" kata Adra kepada CNN Indonesia saat ditemui di Kemang, Jakarta Selatan, pada Rabu (24/2).
Di mata Adra, pengotak-ngotakan musik merupakan masalah nomor satu, dan ia sama sekali tak setuju. "Semakin lama, [premis] itu seperti memenggal hak orang untuk mendengarkan musik!"
Menurut Adra, premis itu dianggap kuno. Bahkan dulu, saat musik jazz masuk ke Indonesia, istilah tersebut malah tidak ada, semua orang bebas mendengar musik apa pun tanpa takut diklasifikasikan.
Adra pun menyesalkan kenyataan: pada saat sebagian masyarakat Indonesia menganggap jazz adalah musik kalangan atas, mereka malah melupakan musik tradisional warisan nenek moyang sendiri.
"Kita bisa melihat bahwa masyarakat Indonesia mulai meninggalkan musik tradisional, sedangkan komposer luar negeri malah getol mempelajari musik tradisional kita," paparnya dengan nada prihatin.
Lalu, ia menceritakan tentang tiga komposer Amerika Serikat yang mempelajari gamelan Bali, yakni Phillip Glass, Colin McPhee dan Stephen Rae. Ketiganya membuat aliran baru: musik minimalis klasik.
"Mereka bertiga ke Bali untuk langsung mempelajari musik tradisional kita. Di saat kita menganggap bahwa jazz adalah musik kalangan atas, orang luar negeri sudah mempelajari musik tradisional kita."
Pernyataan yang dilontarkan Adra pun tak main-main. Pria yang sempat belajar di kampus musik terkenal Universitas Groningen, Belanda, itu pun juga pernah mempelajari buku
Music in Bali.Ia menganggap bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dari musik. Maka dari itu, sangat disayangkan jika masyarakat terus menganggap bahwa musik harus diberikan label atau kelas.
"Kita bangsa yang besar dari musik, semua orang main di sini. Kita harus menghilangkan masalah [pengotak-ngotakan musik] itu."
(vga/vga)