Jakarta, CNN Indonesia -- Jika mengingat musisi-musisi Indonesia di era '90-an seperti Dewa 19, Padi, atau Sheila on 7, pasti langsung terbayang lirik-lirik puitis penyayat hati yang mereka tulis di dalam setiap lagunya.
Walau bercerita tentang cinta, lirik lagu seperti
Kangen, Jadikan Aku Pacarmu, atau
Semua Tak Sama tidak terkesan norak atau murahan di kuping pendengar.
Sedangkan lirik lagu musisi masa kini, yang cenderung menceritakan tentang kisah perselingkuhan dan patah hati, ditulis dengan lugas dan cenderung klise.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"
Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya / Menahan rasa ingin jumpa / Percayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulang / Melepas semua kerinduan yang terpendam," bunyi lirik lagu Kangen karangan Dewa 19.
Gaya penulisan lirik lagu tersebut sangat jauh berbeda dengan lirik dari lagu Sayang ciptaan Kangen Band yang berbunyi, "
Sayang kapan engkau pulang? Ku menunggu dirimu tak kunjung datang / Hmmm sayang, kau selalu ku tunggu, tapi kau tak pernah menemui aku."
Walau sama-sama menceritakan tentang penantian seseorang akan kepulangan kekasihnya, kedua lirik di atas memperlihatkan gaya penulisan yang berbeda.
Membahas masalah lirik lebih lanjut, musisi pop Tanah Air, Raisa Andriana memiliki opininya tersendiri. Ia mengakui bahwa lirik dan musik di era '90-an lebih puitis ketimbang lirik lagu pada saat in.
Namun, menurut pernyataannya, tak ada yang benar dan salah dari lirik-lirik itu. Masyarakat Indonesia dianggap memiliki kegemaran yang berbeda untuk urusan lirik lagu.
"Musik Indonesia itu sangat berjaya di zaman-zamannya Dewa 19, Sheila on 7, dan Padi, apalagi lirik-liriknya yang puitis," tutur Raisa kepada
CNN Indonesia ketika ditemui di perhelatan Java Jazz Festival 2016 pada Jumat (4/3).
"Namun lirik itu relatif, ada orang Indonesia yang suka lirik puitis, tapi ada juga orang yang lebih suka lirik lugas, sehingga bisa langung kena ke hatinya," lanjutnya sambil tersenyum manis.
Ia menyebut nama Adele, selaku musisi fenomenal asal Inggris sebagai contoh dari musisi yang memiliki lirik lugas.
"Kalau menurut saya, Adele itu liriknya tidak puitis sama sekali, dia pakai bahasa sehari-hari. Berbeda dengan musisi seperti Dewa 19, Padi, atau Letto, yang liriknya lebih puitis," ujar kekasih dari pengusaha muda, Keenan Pearce, ini.
Pernyataan Raisa itu diperkuat oleh rekannya, Afgansyah Reza, yang juga berprofesi sebagai musisi solois.
"Era musik terbaik ada di tahun 1990-an, lagunya lebih melodius dan liriknya lebih bagus, musik sekarang terlalu
explicit," ujarnya ketika sedang tampil di panggung Java Jazz.
Menurut Giring Ganesha, selaku vokalis grup musik Nidji, dirinya tak mau menyalahkan rekan sejawatnya yang kerap menulis lirik gamblang atau cheesy.
"Sekarang lirik sudah beragam, ada yang
cheesy, ada yang idealis, ada yang komersil," ujarnya.
"Semua itu nggak bisa disalahin, kalau mereka ingin lirik yang simple ya biarkan saja," ia menambahkan.
Giring menegaskan bahwa menulis lirik dalam bahasa Indonesia bukan perkara mudah. Maka dari itu, penulisan lirik
cheesy dianggap lumrah.
"Menurut saya, menulis lagu dengan lirik bahasa Indonesia itu nggak gampang, karena banyak hal yang kita ingin sampaikan melalui lagu itu tapi kita juga butuh banyak huruf," paparnya menjelaskan.
Walau demikian, Giring mengaku bahwa isu penulisan lirik di Indonesia sudah membaik, setelah adanya kemunculan musisi seperti Tulus, Barasuara, dan lainnya.
"Itu semua adalah kebebasan berekspresi, dan itu adalah hak orang."
(ard)