Jakarta, CNN Indonesia -- Tanpa banyak diketahui publik, pada Rabu (18/3), diperingati 100 Tahun Sensor Film Indonesia. Hal ini menandakan sensor film sudah diberlakukan sejak zaman kolonial Belanda.
Sensor film diberlakukan sebagai salah satu wujud komitmen Pemerintah untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film sekaligus memajukan dunia perfilman itu sendiri.
Sebagaimana keterangan yang disampaikan Ketua Lembaga Sensor atau LSF Ahmad Yani Basuki, sensor film diberlakukan sesuai perkembangan situasi serta tantangan zaman.
LSF sendiri, dikatakan Yani, menjadikan momentum 100 Tahun Sensor Film untuk secara internal meningkatkan kinerja tim, dan secara eksternal meningkat pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Publik yang dimaksud meliputi kalangan perfilman, juga kalangan masyarakat. LSF mensosialisasikan sensor mandiri agar masyarakat tertib, hanya menonton film yang sesuai klasifikasi usia.
Adanya pemberlakukan sensor sejak seabad silam, menurut Yani, membuktikan bahwa sensor memang dibutuhkan. Aksi penyensoran diatur dalam undang-undang yang disahkan pemerintah.
Aturan sensor sendiri mengalami perubahan sesuai dinamika rezim yang berkuasa. “Namun tetap ada kontinuitas: masyarakat harus dilindungi dari pengaruh negatif film,” Yani menegaskan.
“Di sisi lain,” ia menambahkan, “sensor film harus menjadi pendorong kreativitas perfilman." Mantan petinggi militer ini berharap, sineas membuat film berkualitas dan berdaya saing.
Namun tak dipungkiri, ada juga sineas yang menggarap film bertema sensitif, seperti tragedi 1965 atau isu suku, ras, agama dan antar golongan (SARA). Kebanyakan diputar untuk kalangan terbatas.
Soal ini, Yani mengingatkan bahwa penggarapan film yang layak tayang sudah diatur dalam undang-undang. “Film harus menghindari potensi terjadinya bentuk permusuhan, konflik, kekacauan.”
Upaya yang dilakukan LSF bukan hanya menggunting adegan yang dinilai tak layak. Yani bersama timnya juga melakukan sosialisasi di sejumlah daerah agar masyarakat melek sensor.
Terlebih di era digital saat ini di mana media penyedia film makin berkembang, dari YouTube sampai Netflix. Masyarakat harus mampu melakukan sensor mandiri, memilih film sesuai klasifikasi usia.
Soal media online tersebut, Yani menegaskan, bukan domain LSF. Bila merujuk konten filmnya barulah LSF bertindak sesuai undang-undang. Film harus disensor sebelum ditayangkan di media apa pun.
Dalam melakukan penyensoran, LSF tak mesti menggunting adegan, namun harus menetapkan klasifikasi usia penonton. Begitu film ditayangkan di bioskop, masyarakat melakukan sensor mandiri.
(vga/vga)