ULASAN FILM

Sang Pahlawan di Balik 'Surat Cinta untuk Kartini'

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Rabu, 13 Apr 2016 01:31 WIB
Siapa gerangan tukang pos yang berjasa mengantar surat-surat Kartini? Jawabannya bisa ditemukan di film Surat Cinta untuk Kartini.
Rania Putri Sari, pemeran Kartini di film Surat Cinta untuk Kartini. (ANTARA FOTO/Teresia May/aww/16)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kisah R.A. Kartini selalu dikaitkan dengan kumpulan surat yang pernah dikirimkan kepada para sahabat di Eropa, lalu dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Isi surat-surat Kartini menggambarkan roman kehidupan, perubahan sikap dan pemikiran yang maju untuk ukuran era awal abad ke-20. Kartini pun disebut sebagai pelopor emansipasi, persamaan hak dan kedudukan perempuan pribumi.

Pertanyaannya, siapa gerangan tukang pos yang berjasa mengantar surat-surat dari dan untuk sang perempuan priayi Jawa yang kelak dikenal sebagai pahlawan nasional? Jawabannya bisa ditemukan di film Surat Cinta untuk Kartini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dialah Sarwadi (diperankan oleh Chicco Jerikho). Sehari-hari, orang tua tunggal ini rutin mengantarkan surat dari dan untuk Kartini (diperankan oleh Rania Putri Sari). Potret inilah yang dibidik sutradara Azhar “Kinoi” Lubis.

Sosok Sarwadi digambarkan oleh Kinoi mengikuti “DNA” kisah percintaan bak negeri dongeng di mana orang miskin mencintai orang kaya raya. Mau tak mau paparannya mengingatkan pada Film Televisi (FTV) yang diputar oleh stasiun televisi swasta.

[Gambas:Youtube]

Dan kisah ala FTV pun dimulai. Suatu kali, Sawardi melihat Kartini dan menyadari betapa ayu parasnya. Ide Kartini yang visioner dan dianggap “aneh” oleh lingkungannya, malah membuat Sarwadi—yang telah lama menduda—makin jatuh hati.

Demi mendekati Kartini, Sarwadi melancarkan beragam “modus,” antara lain menyerahkan putrinya yang berusia tujuh tahun, Ningrum, kepada Kartini agar dapat menimba pengetahuan. Kartini tentu saja menerima dengan senang hati.

Demi mewujudkan cita-citanya menjadi pengajar, Kartini tak gentar melawan stigma yang berlaku di masyarakat, ketika itu, bahwa perempuan Jawa harus tunduk kepada suami, serta mengurus anak, suami dan memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Kartini yang berpikiran maju tak ingin menghabiskan sisa hidupnya hanya berkutat di kamar dan dapur. Ia ingin bersekolah ke luar negeri, kemudian kembali ke Tanah Air untuk membagikan pengetahuan kepada masyarakat di lingkungannya.

Bagai pungguk merindukan bulan, Sarwadi berusaha menggapai Kartini walau mustahil. Saking tergila-gila pada Kartini, Sarwadi tak menghiraukan saran sahabatnya, Mujur. Ia terhanyut, sampai-sampai tak menyadari ada cinta lain yang lebih realistis di depan mata.

Pada akhirnya, kisah Kartini berjalan sebagaimana diungkapkan sejarah selama ini. Tapi harus diakui, Surat Cinta untuk Kartini memberikan nuansa berbeda, alternatif menarik bagi sebuah karya biopik sarat sejarah.

Pola pendekatan Surat Cinta untuk Kartini berbeda dibandingkan film sejarah lain, seperti Sang Pencerah atau Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto. Film ini tak berpusat pada tokoh utama—Kartini—melainkan Sarwadi, sang tukang pos.

Pemilihan sosok tukang pos tidak sembarangan. Meski fiktif, tapi berdasarkan pertimbangan kreatif Kinoi dan kawan-kawan mengingat hobi surat-menyurat Kartini maka orang yang berpeluang sering-sering bertemu Kartini ya si tukang pos.

"Anak sekarang kadang kalau berbicara tentang sejarah kesannya membosankan, itu yang saya rasakan,” kata Kinoi kepada CNNIndonesia.com usai pemutaran Surat Cinta untuk Kartini khusus media massa di Epicentrum, Kuningan, Jakarta pada Senin (11/4).

“Nah ini bagaimana saya mengemas film sejarah agar tidak membosankan," Kinoi menambahkan. Diakui lulusan Institut Kesenian Jakarta ini, anak muda masa kini memberikan tanggapan berbeda terhadap film sejarah dan superhero.

Teknik penggambaran via orang ke-tiga diharapkan Kinoi dapat membangkitkan keingintahuan publik yang belum mengenal Kartini. Terlepas dari harapan mulia Kinoi, Surat Cinta untuk Kartini secara umum dapat diterima dengan mudah oleh kaum milenial.

Kaum modern saat ini sudah kepalang biasa dengan bumbu drama ber-“DNA” dongeng klasik, seperti yang kerap ditayangkan di layar kaca serta layar lebar. Dengan bobot drama percintaan dan wajah rupawan, film ini cukup mudah diikuti.

Ditambah pemilihan lokasi yang dilakukan oleh Kinoi sangat apik. Meski dalam beberapa adegan tampak tak logis, namun setidaknya suasana pedesaan tertangkap dengan baik untuk menggambarkan Jepara semasa perjuangan Kartini, pada awal abad ke-20.

Kinoi juga memperhatikan secara detail kesesuaian visual di film dengan latar sejarah yang tercatat. Ia antara lain menampilkan tanda tangan Kartini yang mirip aslinya, hingga sosok suami Kartini yang berpostur tambun.

Tak ingin film berdurasi 117 menit ini menjadi tontonan membosankan, Kinoi menyisipkan beberapa cerita pendukung, komedi satir yang dimainkan sebagai selingan cerita, hingga model drama asmara antara Sarwadi dan Kartini yang bagi sebagian orang cukup menggelitik.

Terlepas dari itu semua, Kinoi masih menaruh pesan-pesan Kartini dalam sajak yang dibacakan di film. Sajak ini menambah nuansa melankolis dalam adegan yang membuat film ini tak lepas dari hakikatnya, film edukasi sejarah untuk masyarakat.



(end/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER